Ketua front Pancasila saat itu adalah Subhan Z.E, seorang tokoh NU, yang jika dilihat dari perspektif yang diajukan Adnan tentu saja termasuk dalam kelompok Islam. Apapun yang dikatakan Adnan, sebagian adalah fakta namun sebagian lagi menjadi bahan diskusi tentang sejarah peranan penting ulama dalam percaturan politik Indonesia ; dahulu, kini dan masa akan datang.
Politik Ulama
Secara sosiologis di lingkungan masyarakat Islam, khususnya di lingkungan masyarakat santri, ulama mempunyai posisi yang sangat penting. Mereka menjadi pusat dalam hubungan Islam dengan umat Islam. Dalam perspektif keagamaan, ulama dianggap sebagai “war’asyah al-anbiyaa”, pengganti nabi untuk meneruskan tugas dam fungsinya di dalam risalah kenabian dihadapan umat manusia. Ulama ditempatkan pada posisi hirarki sosial yang tinggi dalam komunitas muslim. Seperti yang pernah ditulis oleh Saletore (Ulama, LP3ES, 1983), bahwa pada abad pertengahan masyarakat Islam memberikan kedudukan yang tinggi pada ulama karena kemampuan pengetahuan keagamaannya. Selanjutnya, menurut Greertz, betapapun dalam urusan keagamaan dan kepemimpinan peran ulama sangat menonjol, namun dalam urusan politik ulama tidak memilki pengalaman apa-apa. Pendapat yang hampir senada juga dikemukakan oleh Deliah Noer, bahwa dalam konteks politik ulama lebih banyak menyerahkan kepada kalangan adapt dan priyai.
Namun, apa yang dikemukakan oleh Noer atau Greertz di atas, tampaknya tidak sepenuhnya didukung oleh fakta sejarah. Tesis di atas setidak-tidaknya menafikan beberapa fakta sejarah yang menunjukkan keterlibatan ulama dalam berbagai pemberontakan kedaerahan dalam melawan penjajah. Pemberontakan petani Banten (1888), peristiwa Nyi Aciah (1870 – 1871), gerakan Amat Ngasiah dan gerakan Kobra (1871), di daerah Sulawesi dan Kalimantan serta Sumatra dan lain sebagainya, hampir semua gerakan dipimpin oleh para ulama atau setidak-tidaknya guru ngaji atau haji. Bahkan, Nurcholis Majid menyebut, dihampir semua perlawanan menentang penjajah, yang paling banyak tewas adalah para santri dan kiyai. Artinya, para ulama mempunyai peran cukup penting dalam melawan penjajah.
Seiring dengan fakta sejarah di atas, Zamakhsyari Dhofier dan Hiroko Horikoshi tidak sependapat dengan gambaran kyai yang dipaparkan oleh Geertz dan Noer. Bagi Dhofier, apa yang digambarkan kedua ilmuwan tersebut kurang memahami secara tepat arti ulama dan kaum tradisional. Baik Horikoshi maupun Dhofier sama-sama berpendapat bahwa para ulama mempunyai peran yang cukup besar dalam masalah politik.
Terlepas dari perdebatan peran politik ulama di atas, kiranya tidak ada satupun babakan sejarah dalam percaturan politik di Indonesia tanpa keterlibatan peran politik ulama. betapapun kadar keterlibatannya tidak sama dan kelompok yang mewakilinya berbeda. Hanya saja dalam dalam setiap keterlibatan ulama pada proses politik di Indonesia, aktualisasi peran mereka selalu naik turun ; sejalan dengan peta perjalanan politik Islam, dan atau seberapa besar posisi tawar ulama dalam komunikasi politik dengan seluruh kekuatan partai politik. Sehingga apapun definisi politik yang diberikan, apakah aktivitas untuk mempengaruhi pusat pembuatan dan pelaksanaan keputusan, mempertahankan ataupun memperebutkan kekuasaan, sejarah mencatat bahwa ulama selalu terlibat di dalamnya.