Oleh: Sabaruddin Hasan – Jurnalis & Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Bandung (PMIB) 90-an

Tarif ekspor Indonesia ke Amerika Serikat memang diturunkan dari 32 persen menjadi 19 persen. Sepintas terlihat sebagai keberhasilan diplomasi. Namun jika kita perhatikan komitmen timbal balik yang diberikan Indonesia – pembelian 50 unit pesawat Boeing dan investasi energi senilai 15 miliar dolar AS – maka muncul satu pertanyaan fundamental: apakah ini benar-benar kesepakatan yang saling menguntungkan, atau bentuk baru dari penaklukan ekonomi?
Negosiasi Atau Penyerahan?
Amerika di bawah Trump bukan sekadar mitra dagang. Mereka adalah kekuatan besar yang menggunakan tarif sebagai alat tekan politik. Pendekatan “America First” bukan tentang perdagangan bebas, tapi perdagangan paksa yang harus tunduk pada kepentingan ekonomi domestik mereka.
Indonesia seharusnya memahami karakter lawan negosiasi, bukan langsung memberi konsesi besar demi penurunan tarif yang belum signifikan. Jangan sampai, demi mendapatkan “diskon” ekspor, kita justru membayar mahal dengan uang rakyat dan menggadaikan kepentingan jangka panjang.
Diskon Palsu: Tarif 19% + 10% = Tetap Berat
Zenzia Sianica Ihza secara tepat menyoroti bahwa penurunan tarif itu bukan “berkah”, melainkan jebakan diplomasi. Jika total tarif tetap mencapai hampir 29 persen, maka ekspor kita tetap berat bersaing di pasar AS.
Lebih menyakitkan lagi, kita sudah lebih dulu “membayar” lewat pembelian produk mereka dan komitmen investasi, tanpa kejelasan apakah dampaknya benar-benar akan kembali menguntungkan Indonesia.
Belajar dari Vietnam dan China
China menunjukkan kekuatan dengan melawan. Vietnam menunjukkan kecerdasan dengan negosiasi yang tetap menjaga marwah nasional. Indonesia? Terlalu akomodatif.
Ini bukan saatnya untuk terus bersikap “low profile” dan “mengalah”. Dunia internasional tidak menghargai kerendahan hati yang terlalu mudah menyerah. Mereka menghargai posisi tawar yang kokoh.
Neo-Kolonialisme dalam Wajah Diplomasi
Mari jujur: ketika negara maju mendapatkan akses ke pasar dan sumber daya kita tanpa batas, sementara produk kita terus dikenai bea masuk tinggi, maka itu bukan kerjasama. Itu bentuk modern dari neo-kolonialisme.
Kita jadi produsen bahan mentah, pembeli produk mereka, penanam modal ke luar negeri, dan penerima kebijakan dagang sepihak. Di mana kedaulatan ekonomi kita?
Diplomasi bukan soal menyenangkan semua pihak. Diplomasi adalah seni memperjuangkan kepentingan nasional dengan kepala tegak. Jika pemerintah tidak segera meninjau ulang kesepakatan ini, maka rakyat hanya akan melihat satu hal: Indonesia terlalu murah di mata Amerika. Dan itu… adalah harga yang terlalu mahal untuk sebuah bangsa besar. (red)