Oleh: Sabaruddin Hasan – Direktur Pilar Sultra

SULAWESI TENGGARA dikenal sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia dalam hal sumber daya alam, khususnya sektor pertambangan. Nikel, aspal, emas, dan berbagai mineral lainnya menjadi komoditas utama yang menopang perekonomian nasional. Namun, kekayaan alam itu belum sepenuhnya tercermin dalam tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah tambang khusunya dan bagi masyarakt Sulawesi Tenggara umumnya.
Dalam berbagai dialog antara masyarakat, pemerintah daerah, dan pelaku usaha pertambangan, isu multiplier effect atau dampak ganda ekonomi dari sektor ini menjadi sorotan. Faktanya, banyak warga yang tinggal di lingkar tambang justru masih hidup dalam kemiskinan, minim akses terhadap pendidikan dan kesehatan, bahkan tidak terserap dalam mata rantai ekonomi tambang.
Pernyataan Gubernur Sultra, Mayjen TNI (Purn) Andi Sumangerukka (ASR) dalam Raker dan RPD Komisi II DPR RI bersama Kemendagri dan para kepala daerah di Jakarta pada 30 April 2025 lalu mempertegas realitas ini.
“Sultra kaya sumber daya alam, tapi rakyatnya masih miskin. Ini ironis! Kami akan tingkatkan PAD, rakyat harus sejahtera,” tegas ASR.
Pernyataan ini menjadi cermin sekaligus cambuk bagi seluruh pemangku kepentingan di daerah. Meski telah banyak capaian dalam 100 hari pertama pemerintahan ASR–Hugua, tantangan terbesar masih terletak pada transformasi tambang menjadi kesejahteraan nyata bagi rakyat.
Mengapa Multiplier Effect Belum Terjadi?
- Minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam industri tambang. Tenaga kerja banyak diimpor dari luar daerah. UMKM lokal belum mampu menjadi bagian dari rantai pasok.
- Ketimpangan infrastruktur. Jalan rusak, akses air bersih dan listrik di wilayah tambang sering tidak memadai.
- Dana CSR yang belum tepat sasaran. Banyak perusahaan menyalurkan CSR dalam bentuk simbolik, tidak berbasis kebutuhan masyarakat.
- Ketiadaan pusat hilirisasi lokal. Proses tambang lebih banyak dilakukan di luar daerah. Nilai tambah pun ikut mengalir keluar.
- Kurangnya regulasi dan pengawasan daerah. Pemprov dan pemda belum maksimal dalam mengatur dan mengawasi komitmen investasi.
Usulan Langkah Konkret Pemprov Sultra dan Pemerintah Pusat
- Audit Komprehensif Dampak Sosial dan Ekonomi Pertambangan Pemprov perlu menyusun peta dampak sosial-ekonomi tiap wilayah tambang dan menjadikannya dasar kebijakan baru.
- Perluasan Program Kemitraan Tambang dan UMKM Lokal Buat skema kerja sama wajib antara perusahaan tambang dengan pelaku usaha lokal, termasuk koperasi warga.
- Revitalisasi Infrastruktur di Wilayah Tambang Fokus pada pembangunan jalan, listrik, air bersih dan jaringan komunikasi di daerah sekitar tambang.
- Kebijakan Hilirisasi Berbasis Daerah Dorong pembangunan pabrik pengolahan di Sultra, serta kebijakan insentif bagi investor yang berkomitmen pada hilirisasi lokal.
- Optimalisasi dan Digitalisasi Dana CSR Bentuk dashboard publik untuk pemantauan CSR agar transparan dan berbasis data kebutuhan riil.
- Pendidikan dan Pelatihan Kerja Berbasis Tambang Kolaborasi antara Pemprov, SMK, dan perusahaan tambang dalam penyediaan SDM lokal berkualitas.
Sektor pertambangan bukan hanya tentang eksploitasi mineral, tetapi juga tentang bagaimana kekayaan itu mengalir kembali ke masyarakat dalam bentuk kesejahteraan, pendidikan, dan pembangunan. Jika multiplier effect tidak dikejar dengan serius, maka tambang hanya akan menjadi lubang, bukan lumbung.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara harus mengambil langkah berani dan sistematis. Dengan kepemimpinan yang kuat dan komitmen terhadap keadilan ekonomi, harapan menjadikan Sultra bukan hanya kaya SDA, tapi juga kaya SDM dan sejahtera rakyatnya, bisa menjadi nyata. (*)