Oleh : Dr. Ihsan Zain, Lc
OPINI, PILARSULTRA.COM — Di tengah perkembangan teknologi dan cara berpikir modern, manusia semakin akrab dengan istilah sistem, program, dan algoritma. Menariknya, bahasa-bahasa ini justru dapat membantu kita memahami satu konsep klasik dalam agama: takdir.
Selama ini, takdir sering dipahami secara pasif—seolah manusia hanyalah objek yang digerakkan oleh kehendak Tuhan tanpa ruang ikhtiar. Namun jika ditelaah lebih dalam, takdir justru lebih tepat dipahami sebagai sistem kehidupan yang diciptakan dan diatur oleh Tuhan dengan hukum-hukum yang konsisten.
Tuhan sebagai Arsitek Sistem Semesta
Dalam perspektif sistem, Tuhan dapat dipahami sebagai Arsitek Agung semesta. Ia menciptakan hukum alam, hukum sosial, dan hukum moral yang bekerja secara teratur. Al-Qur’an menyebutnya sebagai sunnatullah—ketetapan Tuhan yang tidak berubah.
Dalam bahasa teknologi informasi, sistem ini bekerja dengan logika jika–maka (if–then):
- Jika manusia berbuat baik, maka kebaikan akan kembali kepadanya.
- Jika manusia melanggar hukum moral dan sosial, maka konsekuensi akan mengikuti.
Ini bukan berarti Tuhan terikat oleh sistem, melainkan sistem itu sendiri adalah manifestasi dari kehendak-Nya.
Manusia: Sistem Kecil dengan Kehendak
Manusia adalah bagian dari sistem besar semesta, tetapi memiliki keistimewaan: kehendak bebas yang terbatas. Dalam diri manusia terdapat sub-sistem yang saling terhubung—akal, hati, dan tubuh. Ketiganya menentukan bagaimana manusia merespons sistem kehidupan yang telah ditetapkan.
Akal memproses informasi, hati menentukan nilai dan niat, sementara tubuh menjalankan keputusan. Ketika ketiganya selaras, manusia berjalan seiring dengan sistem Tuhan. Ketika salah satu rusak, keseluruhan arah hidup bisa menyimpang.
Dunia dan Akhirat: Dua Fase, Satu Sistem
Kesalahan paling umum dalam memahami kehidupan adalah memisahkan dunia dan akhirat secara mutlak. Padahal, keduanya sejatinya adalah satu kesatuan proses.
Dunia adalah fase penanaman dan pengujian, sementara akhirat adalah fase panen dan pertanggungjawaban. Tidak semua kebaikan langsung berbuah di dunia. Ketika seseorang berbuat baik namun tidak memperoleh balasan di dunia, itu bukan kegagalan sistem, melainkan penundaan hasil ke fase akhirat.
Dalam bahasa sederhana: apa yang tidak terbayar di dunia, akan dituntaskan di akhirat.
Tauhid sebagai Inti Sistem
Di atas seluruh sistem kehidupan ini, ada satu fondasi utama: tauhid. Keyakinan bahwa hanya ada satu Tuhan yang menguasai dan mengatur seluruh sistem semesta.
Tauhid adalah penghubung manusia dengan sistem utama kehidupan. Tanpa tauhid, kebaikan bisa bernilai secara sosial, tetapi kehilangan dimensi transendennya. Dengan tauhid, setiap perbuatan—sekecil apa pun tercatat dan memiliki makna kekal.
Memahami takdir sebagai sistem bukanlah upaya memodernkan agama, melainkan cara baru untuk mendekati kebenaran lama. Tuhan menciptakan kehidupan dengan keteraturan, manusia diberi pilihan di dalamnya, dan dunia-akhirat menjadi satu rangkaian perjalanan.
Pada akhirnya, iman mengajarkan bahwa tidak ada satu pun kebaikan yang sia-sia. Jika tidak berbuah hari ini, ia sedang disimpan untuk esok yang lebih abadi.
Wallahualam bisshawwab.












