Oleh : Redaksi PilarSultra.com
Kabar penetapan tersangka Mohammad Riza Chalid, si “Saudagar Minyak”, dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang Pertamina, membuka kembali luka lama bangsa ini: ketergantungan pada segelintir elite energi yang mengatur hulu-hilir distribusi bahan bakar nasional.
Dengan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun, ini bukan sekadar skandal keuangan — ini tragedi kedaulatan energi. Di balik angka yang fantastis, ada cerita tentang bagaimana negara yang kaya sumber daya bisa dikendalikan oleh sekelompok pemain swasta, lengkap dengan broker, manajer, hingga aktor-aktor internal BUMN itu sendiri.
Saudagar Lama, Pola Lama
Riza Chalid bukan nama baru. Ia sudah disebut-sebut sejak era pemerintahan sebelumnya sebagai pengendali impor minyak. Julukannya sebagai “Gasoline Godfather” mencerminkan posisi dominannya dalam rantai pasok energi nasional.
Yang memprihatinkan, meski bertahun-tahun dibicarakan, dominasi ini tak pernah benar-benar digugat secara hukum — hingga hari ini.
Kasus ini menunjukkan bahwa mafia migas bukan sekadar mitos. Mereka nyata, dan mereka leluasa bermain di ruang-ruang yang semestinya dijaga oleh negara.
Negara Gagal Mengawal Energi
Bagaimana mungkin skema tata niaga migas yang menimbulkan kerugian ratusan triliun bisa berlangsung selama lima tahun lebih (2018–2023) tanpa pengawasan yang memadai?
Lebih parah, sebagian besar tersangka berasal dari internal Pertamina sendiri — dari VP hingga direktur anak usaha. Ini menunjukkan bahwa korupsi tak lagi berada di pinggir sistem, melainkan sudah jadi bagian dari sistem.
Dampaknya: Kita yang Bayar Mahal
Subsidi dan kompensasi energi sejatinya adalah instrumen untuk melindungi rakyat. Tapi ketika dana triliunan rupiah justru bocor ke tangan para broker, yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap rakyat miskin.
Saat harga BBM naik, rakyat disuruh maklum. Tapi ketika mafia bermain di balik layar, mereka lolos dari amarah publik karena bersembunyi di balik jargon teknokratis dan skema bisnis rumit.
Apa yang Harus Dilakukan?
Kasus ini seharusnya menjadi momen bersih-bersih total. Negara harus : (1) Mengaudit menyeluruh sistem tata niaga migas, bukan hanya orang-orangnya. 92) Bangun transparansi berbasis digital dalam sistem ekspor-impor energi. (3) Putus rantai mafia energi, dari elite bisnis hingga aparat pelindungnya. (4) Lebih dari itu, Indonesia harus berdaulat secara energi — bukan sekadar jadi ladang permainan para saudagar dan broker internasional.
Skandal migas ini bukan soal Riza Chalid semata. Ini soal bagaimana negara melindungi kedaulatan energi untuk rakyatnya. Jika negara terus kalah dalam permainan para elite, maka kita hanya akan menjadi bangsa kaya yang terus mengemis di ladang minyak milik sendiri. (red)