Aset Pemprov Menyusut, Nasib KPR ASN Terkunci di Nanga-Nanga
EDITORIAL, PILARSULTRA.COM — Aset daerah seharusnya menjadi representasi kekuatan finansial dan perencanaan jangka panjang pemerintah. Namun, apa yang terjadi pada lahan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Pemprov Sultra) di kawasan Nanga-Nanga, Kendari, justru menyajikan ironi pahit. Di satu sisi, lahan yang semula tercatat 1.000 hektare kini diduga menyusut hingga lebih dari 200 hektare. Di sisi lain, ratusan Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemprov terus menanggung beban potongan gaji bulanan untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang status huniannya hingga kini masih penuh ketidakpastian.
Misteri Penyusutan dan Akuntabilitas yang Hilang
Langkah Gubernur Sultra membentuk tim terpadu untuk menelusuri dugaan penyusutan 207 hektare aset di Nanga-Nanga patut diapresiasi sebagai upaya penyelamatan. Namun, pertanyaan mendasar harus diajukan: Bagaimana aset seluas itu bisa menghilang tanpa pengawasan?
Penyusutan lahan bukan sekadar masalah administrasi, melainkan indikasi lemahnya tata kelola aset daerah selama bertahun-tahun. Lahan Nanga-Nanga, yang direncanakan sebagai jantung perumahan ASN Griya Bahteramas atau Bumi Praja, seharusnya dijaga ketat. Dugaan hilangnya ratusan hektare ini menimbulkan spekulasi liar mengenai adanya oknum yang bermain di balik layar, menggerogoti hak milik publik demi kepentingan pribadi.
Tim terpadu harus bekerja secara transparan, independen, dan tanpa pandang bulu. Hasil verifikasi tidak boleh sekadar laporan di atas kertas, tetapi harus berujung pada tindakan hukum tegas terhadap pihak-pihak yang terbukti bertanggung jawab, baik itu birokrat maupun pihak swasta.
Beban KPR ASN yang Tak Berujung
Penyusutan aset adalah persoalan negara, tetapi nasib KPR para ASN adalah tragedi kemanusiaan yang harus diselesaikan segera. Setiap bulan, ratusan ASN dipotong gajinya untuk angsuran rumah yang tidak jelas kapan dapat dihuni dengan tenang, atau bahkan, apakah sertifikat hak milik mereka benar-benar aman.
Mereka adalah pegawai negeri yang seharusnya mendapatkan jaminan kesejahteraan dari negara melalui skema perumahan ini. Namun, yang mereka dapatkan adalah beban finansial ganda: membayar cicilan tanpa kepastian hunian yang layak dan tanpa kejelasan legalitas.
Ketidakjelasan status lahan Nanga-Nanga secara langsung mengancam kepastian hukum kepemilikan rumah ASN tersebut. Jika lahan induk bermasalah, bagaimana mungkin rumah di atasnya bisa memiliki sertifikat yang kuat?
Rekomendasi Mendesak
Pemerintah Provinsi Sultra harus segera mengambil langkah-langkah konkret dan tegas:
- Prioritaskan Legalitas Lahan: Hasil kerja tim terpadu harus dijadikan dasar untuk mematenkan sisa lahan yang sah dan memproses sertifikasi perumahan ASN secepatnya. Status hukum lahan adalah kunci utama penyelesaian masalah KPR.
- Transparansi dan Komunikasi: Pemprov harus membuka posko pengaduan khusus bagi ASN terdampak KPR Nanga-Nanga. Komunikasi harus dilakukan secara periodik mengenai progres penyelesaian masalah, bukan sekadar janji-janji politik.
- Tinjau Ulang Skema KPR: Jika ketidakjelasan status lahan terus berlarut, Pemprov wajib berkoordinasi dengan perbankan untuk mencari solusi restrukturisasi atau penangguhan cicilan (moratorium) bagi ASN, sampai unit rumah dapat ditempati dengan jaminan legalitas penuh.
Aset daerah adalah amanah. Kesejahteraan ASN adalah tanggung jawab moral pemerintah. Kasus Nanga-Nanga bukan hanya tentang penyusutan angka di buku aset, melainkan tentang kepercayaan publik yang terkikis dan air mata para ASN yang gajinya terus dipotong tanpa kepastian. Pemprov Sultra harus segera mengakhiri drama ini dengan kebijakan yang berpihak pada kebenaran dan keadilan. (redaksi)















