Hari Anak Nasional (HAN) yang diperingati setiap 23 Juli bukan sekadar seremoni tahunan, tapi seharusnya menjadi momen reflektif dan kritis: Apakah anak-anak kita hari ini benar-benar tumbuh dalam ruang yang aman, sehat, dan membahagiakan?
Fakta berkata sebaliknya. Belum sepekan ini, kita diguncang dua kasus memilukan: seorang oknum pendeta di Blitar yang mencabuli anak-anak selama dua tahun terakhir, dan terbongkarnya sindikat jual beli bayi lintas negara dari Indonesia ke Singapura. Kedua kasus itu, meski terjadi di luar Sulawesi Tenggara, menyentak nurani seluruh bangsa – bahwa anak-anak masih menjadi korban kekerasan, eksploitasi, dan pengabaian.
Anak Bukan Komoditas, Bukan Objek Pelampiasan
Anak-anak adalah amanah. Mereka bukan milik negara, bukan milik agama, dan bukan milik orang tua sepenuhnya. Mereka adalah manusia utuh dengan hak-hak yang dijamin undang-undang dan nurani. Memperlakukan anak sebagai objek pelampiasan hasrat atau komoditas perdagangan adalah bentuk kejahatan kemanusiaan.
Apakah kita cukup melindungi anak-anak di Sulawesi Tenggara? Apakah sekolah, tempat ibadah, dan lingkungan sosial kita sudah aman dari predator anak? Apakah Dinas PPPA dan aparat hukum kita cukup responsif dan proaktif?
Saatnya Tak Hanya Merayakan, Tapi Bertindak
Tema Hari Anak Nasional 2025 adalah “Anak Terlindungi, Indonesia Maju.” Tapi tema akan tinggal tema jika negara, masyarakat, bahkan media abai. Di saat yang sama, kita juga tak bisa menyerahkan semua pada pemerintah. Media, lembaga pendidikan, tokoh agama, dan masyarakat sipil punya peran vital.
Kita semua harus berkomitmen menjadi bagian dari barisan penjaga suara anak. Memberikan ruang bagi anak untuk bersuara, membuka tabir kekerasan yang menimpa mereka, dan mendorong kebijakan yang berpihak pada masa depan mereka.
Anak-anak Tak Butuh Janji, Tapi Jaminan
Hari ini bukan saatnya memberi mereka puisi dan boneka semata. Anak-anak Indonesia, termasuk di Sultra, butuh jaminan: bahwa sekolahnya aman, keluarganya hangat, dan lingkungan sosialnya tak penuh jebakan kekerasan.
Karena bila satu anak saja tumbuh dalam luka, maka sebenarnya seluruh bangsa sedang membusuk dari dalam. (red)