EDITORIAL, PILARSULTRA.COM — Kasus dugaan penambangan ilegal yang menyeret dua kader Partai NasDem kini tidak lagi sekadar persoalan hukum dan lingkungan. Ia telah berkembang menjadi ujian serius bagi integritas politik dan konsistensi etika partai, khususnya di tingkat daerah.
Setelah laporan resmi dilayangkan ke Polda Sulawesi Tenggara, publik menunggu sikap politik yang jelas. Di tingkat kabupaten, Ketua DPD Partai NasDem Konawe Selatan, Suparjo, menyampaikan pernyataan bahwa partainya menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Pernyataan ini mencerminkan pengakuan atas prinsip negara hukum dan patut dicatat sebagai sikap resmi struktur partai di daerah.
Namun, situasi berbeda justru terlihat di tingkat provinsi. Upaya konfirmasi yang dilakukan PilarSultra kepada Sekretaris Wilayah (Sekwil) Partai NasDem Sultra tidak mendapat respons. Hingga rangkaian pemberitaan ini diterbitkan, DPW Partai NasDem Sultra memilih bungkam.
Di titik inilah pertanyaan publik mengemuka: mengapa DPW NasDem Sultra diam?
Diamnya struktur partai di level provinsi membuka ruang tafsir yang luas. Apakah kasus ini dianggap semata urusan personal kader? Apakah ada kehati-hatian politik yang berlebihan? Ataukah belum adanya sikap internal yang solid untuk disampaikan ke publik? Apa pun alasannya, dalam perkara yang menyangkut dugaan pelanggaran hukum dan kerusakan lingkungan, diam bukanlah sikap netral.
Sikap bungkam ini menjadi semakin kontras bila diletakkan dalam kerangka nilai yang selama ini digaungkan oleh Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh. Dalam berbagai kesempatan, ia menegaskan bahwa partai politik harus berdiri di garis depan dalam pemberantasan korupsi dan pelanggaran hukum, bahkan pernah menyatakan bahwa partai tidak layak dipertahankan jika kehilangan integritas moral kadernya. Pesan ini menempatkan etika, kejujuran, dan kepatuhan pada hukum sebagai fondasi politik restorasi yang diklaim NasDem.
Karena itu, publik wajar mempertanyakan: di mana semangat anti-korupsi itu ketika dugaan pelanggaran justru menyeret kader sendiri? Pernyataan “menghormati proses hukum” adalah kewajiban dasar setiap warga negara, bukan keistimewaan partai politik. Dalam konteks krisis kepercayaan publik, sikap normatif saja belum cukup menjawab kegelisahan masyarakat.
Perbedaan sikap antara struktur kabupaten yang berbicara dan struktur provinsi yang diam justru menimbulkan kesan ketidaksinkronan internal. Padahal, di saat-saat seperti inilah publik menunggu kepemimpinan politik yang tegas, terbuka, dan bertanggung jawab—bukan sekadar aman secara politis.
Sementara itu, aparat penegak hukum harus tetap bekerja secara independen dan profesional. Proses hukum mesti berjalan tanpa tekanan, tanpa perlakuan istimewa, dan tanpa kompromi politik. Hukum harus berdiri di atas semua kepentingan, termasuk kepentingan partai.
PilarSultra berpandangan, menjaga lingkungan dan menegakkan hukum adalah kepentingan publik yang tidak boleh dikalahkan oleh kenyamanan politik. Jika partai politik ingin dihormati, maka ia harus berani bersuara dan bersikap, terutama ketika diuji oleh kasus yang melibatkan kadernya sendiri.
Di titik inilah publik tidak lagi menuntut pembelaan, melainkan keteladanan.
(Red)











