EDITORIAL, PILARSULTRA.COM — Pertambangan tidak hanya soal menggali, tetapi juga soal meninggalkan lahan dalam keadaan bertanggung jawab. Di titik inilah jaminan reklamasi dan jaminan pascatambang seharusnya bekerja sebagai pagar terakhir negara. Namun fakta yang muncul di Bombana justru memperlihatkan pagar itu rapuh, bolong, dan dibiarkan begitu saja.
Data menunjukkan bahwa 13 perusahaan pemegang IUP tercatat telah menempatkan dana jaminan reklamasi, sementara hanya 5 perusahaan yang memiliki jaminan pascatambang. Secara normatif, perbedaan ini bisa saja dibenarkan oleh tahapan kegiatan tambang. Tetapi konteks Bombana membuat argumen normatif itu kehilangan relevansi.
Mengapa? Karena persoalannya bukan sekadar selisih tahapan, melainkan cacat tata kelola pada instrumen jaminan itu sendiri.
Ditemukannya penempatan jaminan reklamasi tanpa penetapan resmi nilai jaminan, serta ketidaksesuaian antara nama pemegang IUP dengan nama rekening jaminan reklamasi, menimbulkan satu kesimpulan serius: negara telah membiarkan kewajiban lingkungan dijalankan tanpa fondasi hukum yang kokoh. Dalam kondisi seperti ini, menyebut bahwa “jamrek sudah disetor” menjadi pernyataan yang menyesatkan publik.
Pertanyaannya bukan lagi mengapa hanya 5 perusahaan yang memiliki jaminan pascatambang. Pertanyaan yang lebih jujur adalah:
apakah negara benar-benar siap menutup tambang-tambang di Bombana jika aktivitas berhenti hari ini?
Jika jaminan reklamasi saja bermasalah, maka jaminan pascatambang yang belum disiapkan oleh mayoritas pemegang IUP adalah bom waktu ekologis. Ketika perusahaan berhenti, izin berakhir, atau badan usaha menghilang, lubang tambang tidak ikut tutup. Ia tinggal, menganga, dan menjadi warisan masalah bagi masyarakat dan pemerintah daerah.
Editorial ini tidak sedang menuding satu atau dua perusahaan. Yang dikritik adalah pola pembiaran. Negara rajin menerbitkan izin, tetapi lamban memastikan akhir dari izin tersebut. Jamrek diperlakukan sebagai formalitas administratif, sementara pascatambang dibiarkan menjadi urusan “nanti”.
Padahal dalam logika keadilan lingkungan, tidak ada kata “nanti”. Setiap hari keterlambatan memastikan jaminan pascatambang adalah hari di mana negara menunda tanggung jawabnya sendiri.
Bombana tidak kekurangan aturan. Yang bermasalah adalah keberanian menegakkan aturan itu secara konsisten. Ketika jumlah pemegang IUP jauh lebih banyak daripada perusahaan yang siap menutup tambangnya, maka yang sedang kita saksikan bukan dinamika industri, melainkan kegagalan pengendalian kebijakan.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka suatu hari publik akan bertanya dengan nada yang jauh lebih keras:
di mana negara ketika lubang-lubang tambang itu ditinggalkan?
Dan saat itu tiba, jawaban “secara administrasi sudah dipenuhi” tidak lagi akan cukup.










