PILARSULTRA.COM, EDITORIAL — Dalam postur APBD Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2025 yang mencapai sekitar Rp 4,5 triliun, terselip satu realita fiskal yang kian mengkhawatirkan: belanja rutin menelan hingga 75% dari anggaran. Artinya, sekitar Rp 3,4 triliun dihabiskan hanya untuk gaji ASN, tunjangan, operasional kantor, hingga kegiatan-kegiatan seremonial. Sisanya? Hanya sekitar Rp 1,1 triliun yang bisa digunakan untuk membangun Sultra — dari infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga program pengentasan kemiskinan.
Itu pun belum tentu bersih. Sisa anggaran ini harus dibagi lagi untuk belanja modal, belanja tak terduga, dana cadangan, dan kewajiban lain yang tidak kalah penting. Maka wajar jika pembangunan di banyak wilayah Sultra bergerak lambat. Jalan-jalan desa rusak menahun, pelayanan kesehatan tertatih, hingga program pemberdayaan masyarakat miskin tak kunjung masif.
Pertanyaannya: Sampai kapan kita hanya jadi “administrator anggaran rutin” tanpa ruang untuk bergerak membangun?
Ketergantungan pada Transfer Pusat = Rawan Guncangan
Lebih dari 80% pendapatan daerah Sultra masih bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. Begitu pemerintah pusat mengurangi porsi Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus (DAK), maka APBD ikut “tersedak”. Inilah yang terjadi pada tahun anggaran 2025, di mana efisiensi nasional menyebabkan turunnya pagu APBD Sultra.
Kondisi ini menunjukkan rapuhnya kemandirian fiskal daerah. Tanpa penguatan PAD, kita hanya akan jadi penonton di rumah sendiri. Padahal, Sulawesi Tenggara adalah provinsi yang kaya sumber daya: tambang, kehutanan, kelautan, perkebunan, dan pariwisata. Tapi potensi itu belum bertransformasi menjadi kekuatan fiskal.
Jalan Keluar: Berani Meningkatkan PAD
Peningkatan PAD bukan sekadar menaikkan target pajak dan retribusi. Ia membutuhkan perubahan cara berpikir dan bekerja:
- Optimalisasi pajak daerah & retribusi yang selama ini bocor, seperti pajak mineral bukan logam, pajak air permukaan, dan retribusi jasa usaha.
- Digitalisasi sistem pemungutan PAD, agar transparan dan minim manipulasi.
- Audit dan pemutakhiran data wajib pajak daerah, termasuk pelaku usaha tambang, hotel, restoran, dan hiburan.
- Pemanfaatan aset daerah secara produktif, bukan hanya jadi bangunan mati atau lahan tidur.
- Kerjasama dengan pihak swasta dalam bentuk BUMD, PPP, atau skema investasi sektor unggulan (pariwisata, perikanan, energi).
Dari Beban Menjadi Daya Dorong
Belanja rutin memang tak bisa dihindari, tapi jangan sampai belanja pembangunan selalu menjadi korban. Jika kita ingin mewujudkan Sultra sebagai provinsi maju, setara, dan berdaya saing, maka ruang fiskal untuk membangun harus diperbesar. Dan itu hanya bisa dicapai jika PAD diperkuat secara serius dan berkelanjutan.
Saatnya Sulawesi Tenggara tidak hanya bergantung pada pusat. Sultra harus punya kemandirian fiskal. Dari bumi sendiri yang sebenarnya kaya SDA, untuk kemajuan daerah sendiri. (red)