Kendari, PilarSultra.com — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara menyoroti pola ketidakpatuhan dalam pengelolaan keuangan Pemilu 2024 pada satuan kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) di wilayah Sultra. Temuan tersebut tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan periode Tahun 2023 hingga Semester I Tahun 2024.
Pemeriksaan yang dilakukan selama 55 hari itu tidak hanya menemukan persoalan administratif, tetapi juga mengindikasikan lemahnya pengendalian internal pada sejumlah tahapan krusial, mulai dari pengadaan barang dan jasa, pembayaran honorarium, hingga pertanggungjawaban belanja Badan Ad Hoc Pemilu.
Temuan Tidak Berdiri Sendiri
BPK mencatat, ketidakpatuhan terjadi lintas satuan kerja, baik di tingkat KPU Provinsi maupun KPU kabupaten/kota. Pola yang berulang antara lain:(1) Pembayaran jasa dan pekerjaan yang tidak sepenuhnya sesuai kontrak, (2) Kekurangan volume pekerjaan fisik, (3) Honorarium dan perjalanan dinas yang tidak sesuai ketentuan, dan (4) Hingga pertanggungjawaban belanja Badan Ad Hoc yang terlambat atau belum disampaikan.
BPK secara eksplisit menilai bahwa permasalahan tersebut tidak bersifat insidental, melainkan menunjukkan kesenjangan antara aturan dan praktik di lapangan dalam pengelolaan anggaran Pemilu.
Badan Ad Hoc Jadi Titik Rawan
Salah satu catatan penting dalam laporan BPK adalah pengelolaan dana pada Badan Ad Hoc Pemilu. BPK menemukan:(1) Belanja operasional yang belum didukung bukti sah, (2) Pertanggungjawaban yang disampaikan melewati batas waktu, dan (3) Bahkan sebagian dana yang belum dipertanggungjawabkan sama sekali hingga batas pemeriksaan.
Kondisi ini menjadi perhatian serius mengingat Badan Ad Hoc merupakan ujung tombak penyelenggaraan Pemilu di lapangan, dengan jumlah personel di Sultra mencapai lebih dari 76 ribu orang.
Uji Integritas Tata Kelola Pemilu
Meski BPK tidak masuk pada ranah pidana, temuan-temuan tersebut menjadi alarm penting bagi integritas tata kelola Pemilu. Pengelolaan anggaran yang tidak patuh berpotensi menimbulkan (1) Ketidakhematan keuangan negara, (2) Risiko hukum dan administratif dan (3) Menurunnya kepercayaan publik terhadap penyelenggara Pemilu.
BPK sendiri menegaskan bahwa tujuan pemeriksaan ini adalah memastikan seluruh proses pengelolaan keuangan Pemilu sesuai ketentuan perundang-undangan, mengingat seluruh pembiayaan Pemilu bersumber dari APBN. .
Catatan untuk Perbaikan, Bukan Sekadar Formalitas
LHP BPK ini menjadi pengingat bahwa keberhasilan Pemilu tidak hanya diukur dari kelancaran pencoblosan dan rekapitulasi suara, tetapi juga dari akuntabilitas pengelolaan anggarannya.
Tanpa perbaikan serius pada sistem pengendalian internal dan kepatuhan administrasi, persoalan serupa berpotensi kembali terulang pada agenda pemilu dan pilkada berikutnya. (red)











