PILARSULTRA.COM, EDITORIAL — Beberapa kalangan menyebut pemangkasan anggaran dan rasionalisasi TKD sebagai langkah efisiensi untuk mencegah korupsi di daerah. Alasan itu terdengar ideal, seolah negara sedang menata ulang pengelolaan keuangan agar lebih bersih dan efektif. Namun jika dicermati lebih dalam, langkah tersebut lebih menyerupai politik sentralisasi fiskal, di mana uang rakyat tidak lagi berputar di daerah, melainkan dikendalikan penuh dari pusat.
Korupsi di daerah memang nyata. Tapi masalahnya bukan pada besarnya dana transfer, melainkan lemahnya sistem pengawasan dan akuntabilitas publik. Pemangkasan anggaran bukanlah solusi terhadap korupsi, melainkan pemindahan locus kekuasaan; dari kepala daerah ke pemerintah pusat.
Faktanya, sebagian besar dana yang “dipangkas” dari TKD dan DAK tidak benar-benar dihemat, tetapi dialihkan ke proyek-proyek baru nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Kopdes Merah Putih, dan serta pembayaran utang negara.
Ketiganya dikendalikan langsung oleh pemerintah pusat dengan mekanisme distribusi vertikal; memotong peran daerah dan mengkonsentrasikan kontrol fiskal di Jakarta.
Narasi “efisiensi demi pencegahan korupsi” dengan demikian lebih tepat dibaca sebagai legitimasi moral untuk konsolidasi kekuasaan ekonomi.
Uang negara memang tidak bocor di banyak ember kecil di daerah, tetapi kini mengalir ke satu ember besar di pusat, dan di situlah potensi kebocoran struktural bisa terjadi; lebih sunyi, lebih rapi, dan lebih sulit diawasi publik.
Efisiensi sejati adalah ketika uang negara digunakan dengan tepat, transparan, dan memberi dampak langsung bagi rakyat. Tapi jika efisiensi justru menjauhkan uang dari kehidupan rakyat, maka ia kehilangan makna moralnya. Negara boleh menertibkan anggaran, tapi jangan sampai menertibkan kesejahteraan rakyat.
Rakyat tidak menolak penghematan, mereka hanya menolak pengendalian tanpa pemerataan. Dan jika pemerintah benar ingin memberantas korupsi, maka transparansi dan partisipasi publik di daerah harus diperkuat, bukan dilemahkan.
Sebab, ketika semua uang dan keputusan ditarik ke pusat, demokrasi fiskal pun perlahan kehilangan napasnya. (red)











