Oleh; Sabaruddin Hasan – Peneliti pada Pusat Studi dan Informasi Strategis (Pusinstrat) Indonesia
Politik daerah tidak hanya berbicara tentang kekuasaan dan kebijakan. Ia juga menyangkut penghormatan terhadap sejarah, kearifan lokal, dan modal sosial yang diwariskan leluhur. Di Sulawesi Tenggara, hal itu menemukan bentuk paling nyata pada masyarakat Tolaki sebagai tuan rumah sejarah, khususnya daratan.
Fakta sejarah mencatat, sejak lama suku Tolaki dikenal dengan sikap terbukanya terhadap pendatang. Kendari dan sekitarnya menjadi tanah yang aman bagi siapa saja yang datang mencari penghidupan. Etnis Bugis, Buton, Muna, Makassar, Jawa, Bali hingga Tionghoa dan lainnya dapat hidup berdampingan karena diterima oleh masyarakat Tolaki dengan tangan terbuka. Konsep osara (adat sebagai pengikat) dan mepokoaso (saling membantu untuk persatuan) menjadi landasan hidup bersama, menjadikan tanah Tolaki sebagai ruang integrasi sosial.
Namun, keterbukaan itu jangan dipandang remeh. Ia bukan kelemahan, melainkan modal sosial yang membuat Sultra bisa tumbuh sebagai rumah bersama. Karena itu, kebaikan tuan rumah sejarah ini tidak boleh dieksploitasi tanpa rasa terima kasih. Justru sebaliknya, politik daerah seharusnya memberi ruang penghargaan yang layak: melalui kebijakan yang menghormati adat, merawat identitas budaya, dan memastikan suku Tolaki tetap ditempatkan secara terhormat dalam pembangunan Sultra sebagai tuan rumah sejarah.
Sebagai pemimpin yang berasal dari Bugis, Gubernur Andi Sumangerukka (ASR) memikul amanah moral di tanah Tolaki. Ia memimpin bukan hanya dengan mandat politik, tetapi juga dengan tanggung jawab untuk menjaga kebaikan tuan rumah sejarah. Menghargai Tolaki, tentu bukan berarti mengabaikan etnik lainnya yang tentu saja juga punya peran kontribusi nyata, tapi untuk menjaga fondasi sosial dan akar jati diri daerah yang memungkinkan pluralitas Sultra tumbuh harmonis hingga kini dan masa datang.
Politik daerah pada akhirnya tidak boleh semata-mata menjadi alat kekuasaan. Ia harus hadir sebagai penghormatan terhadap sejarah dan kearifan lokal. Dan di Sultra, menghormati Tolaki sebagai tuan rumah sejarah adalah langkah pertama menuju politik yang berkeadilan dan berperadaban. (*)












