Jurnalis Diduga Dicekik Saat Liput Kasus Keracunan MBG, AJI: Perburuk Iklim Demokrasi!
PILARSULTRA.COM, EDITORIAL — Kasus dugaan kekerasan terhadap dua jurnalis di Pasar Rebo, Jakarta Timur, 30 September 2025, adalah alarm keras bagi kebebasan pers di negeri ini. Kedua jurnalis yang tengah meliput dugaan keracunan massal akibat program makan bergizi gratis (MBG) mendapat perlakuan keji: dihalang-halangi, dicekik, bahkan nyaris dipukul.
Peristiwa ini bukan sekadar insiden kecil. Ia adalah pelanggaran hukum yang terang benderang. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers dapat dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda Rp500 juta.
Lebih jauh, tindakan kekerasan fisik bisa dijerat dengan pasal-pasal pidana umum, termasuk pasal penganiayaan dalam KUHP yang ancamannya bisa mencapai lima tahun penjara. Dengan demikian, pelaku kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya melanggar UU Pers, tetapi juga melakukan tindak pidana murni.
“Kekerasan terhadap jurnalis adalah kekerasan terhadap publik. Menghalangi pers sama saja dengan merampas hak rakyat untuk tahu.”
Menghalangi kerja jurnalis bukan sekadar menyerang profesi. Ia adalah serangan terhadap hak publik untuk tahu. Pers bekerja untuk masyarakat, menyampaikan fakta, mengawal program pemerintah, dan memastikan jalannya demokrasi. Jika pers dibungkam dengan intimidasi, maka publik kehilangan hak dasarnya atas informasi.
Negara tidak boleh membiarkan praktik impunitas. Setiap kasus kekerasan terhadap jurnalis harus diusut tuntas. Kepolisian wajib bertindak cepat, transparan, dan adil. Tanpa penegakan hukum yang tegas, kasus serupa akan terus berulang, memperburuk iklim kebebasan pers, dan merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi.
Menghalangi jurnalis adalah mengkhianati rakyat. Negara wajib memastikan hukum ditegakkan tanpa kompromi.