PILARSULTRA.COM — Isu reklamasi tambang di Sulawesi Tenggara kembali mencuat seiring sorotan publik terhadap Jaminan Reklamasi (Jamrek). Dana yang semestinya menjadi “perisai lingkungan” masih menimbulkan tanda tanya besar: sudahkah jumlahnya memadai untuk menjamin pemulihan ribuan hektar lahan tambang?
Sultra memiliki luas konsesi mineral mencapai lebih dari 100 ribu hektar. Jika mengacu pada standar biaya reklamasi yang berkisar Rp30–60 juta per hektar, seharusnya tersedia dana Jamrek setara Rp3–6 triliun. Dana ini penting untuk memastikan setiap hektar lahan tambang yang ditinggalkan bisa dikembalikan ke kondisi aman dan produktif.
Namun, di lapangan, publik jarang sekali melihat bukti reklamasi yang nyata. Banyak bekas tambang justru meninggalkan lubang besar dan lahan rusak yang meresahkan masyarakat.
Belajar dari Sorowako
Di sisi lain, praktik berbeda bisa ditemui di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. PT Vale Indonesia Tbk (PTVI), salah satu perusahaan tambang nikel terbesar di Indonesia, dikenal disiplin dalam melaksanakan reklamasi.
Seorang mantan pekerja reklamasi di Sorowako mengungkapkan, “Setiap tiga bulan, pasti ada proyek reklamasi yang berjalan. Vale memang disiplin. Karena itu, alam di Sorowako tetap baik dan terjaga.”
Proses reklamasi di Vale dilakukan secara menyeluruh:
- Penataan kontur lahan bekas tambang.
- Pengembalian tanah pucuk.
- Penanaman kembali dengan pohon lokal maupun tanaman produktif.
- Perawatan tanaman minimal tiga tahun hingga tumbuh mandiri.
Menariknya, kata mantan pekerja reklamasi Vale tersebut, banyak lahan bekas tambang di Sorowako kini ditanami merica, tanaman produktif yang memberi nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar. Dengan pendekatan ini, reklamasi tidak hanya mengembalikan ekosistem, tetapi juga memberi manfaat langsung kepada warga.
“Masyarakat di Sorowako menghormati PT Vale karena bertaggungjawab atas reklamasi pascatambang,” ujarnya.
Kontras dengan Sultra
Kondisi di Sulawesi Tenggara jauh berbeda. Meski luas tambang besar dan setoran Jamrek seharusnya mencapai triliunan rupiah, praktik reklamasi yang terlihat di lapangan masih minim. Lubang bekas tambang banyak yang dibiarkan terbuka, merusak lanskap, dan membahayakan lingkungan.
Padahal, jika disiplin seperti Vale, reklamasi bisa menjadi peluang emas. Lahan bekas tambang dapat diubah menjadi perkebunan, hutan rakyat, atau kawasan hijau yang produktif untuk peningkatan perekonomian masyarakat sekitar.
Transparan dan Belajar Pada Vale Sorowako
Publik Sultra berhak tahu: berapa total Jamrek yang benar-benar tersedia, di mana dana itu disimpan, dan bagaimana penggunaannya? Tanpa transparansi, sulit membayangkan reklamasi berjalan efektif.
Belajar dari Sorowako, reklamasi bukan mustahil. Dengan disiplin, konsistensi, dan pengawasan ketat, tambang bisa berdampingan dengan lingkungan. Pertanyaannya, apakah perusahaan tambang di Sultra bersedia menempuh jalan yang sama? (mer)