Oleh: Sabaruddin Hasan – Jurnalis
Sulawesi Tenggara (Sultra) dikenal sebagai salah satu daerah dengan potensi tambang terbesar di Indonesia. Nikel, aspal, hingga berbagai jenis mineral lainnya menjadi andalan dalam menopang perekonomian daerah dan nasional.
Data per 31 Januari 2025 dari sumber kredibel mencatat, jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral logam dan batubara yang telah berstatus operasi produksi mencapai 193 IUP dengan luas lahan konsesi lebih dari 352 ribu hektare. Dari jumlah itu, 164 IUP untuk nikel, 24 IUP untuk aspal, serta sisanya emas, mangan, dan kromit.
Di sisi lain, terdapat 215 IUP Mineral Bukan Logam (MBL) dengan luas lahan lebih dari 65 ribu hektare. Dengan kekayaan sebesar itu, Sultra dalam kurun 2017–2024 telah menyumbang PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sebesar Rp16,351 triliun dan Dana Bagi Hasil (DBH) Rp6,3 triliun untuk periode 2017–2022. Angka yang sangat besar, namun menyisakan pertanyaan mendasar: sejauh mana kekayaan ini benar-benar berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat Sultra?
Antara Angka dan Fakta
Secara makro, sektor tambang memang memberi dampak positif bagi perekonomian. Investasi masuk, aktivitas ekonomi tumbuh, dan DBH kembali ke daerah. Tetapi realita di lapangan sering kali menunjukkan wajah yang kontras. Infrastruktur dasar di beberapa wilayah tambang masih minim, desa-desa sekitar tambang sering kekurangan air bersih, bahkan akses jalan sering rusak akibat lalu lintas truk tambang.
Ironisnya, masyarakat di lingkar tambang tidak jarang hanya menjadi penonton. Lapangan kerja yang dijanjikan kerap tak sesuai dengan harapan, bahkan muncul konflik agraria akibat tumpang tindih izin. Tidak sedikit pula persoalan lingkungan yang muncul: pencemaran sungai, hilangnya tutupan hutan, hingga abrasi pantai akibat sedimentasi.
Tantangan Pemerintah Daerah
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara, bersama kabupaten/kota, memiliki PR besar dalam mengawal tata kelola pertambangan. Setidaknya ada tiga hal yang mendesak untuk dibenahi:
- Transparansi Data dan Penerimaan
Angka triliunan dari PNBP dan DBH harus dibuka secara jelas dan dikomunikasikan ke publik. Masyarakat berhak tahu berapa sebenarnya dana yang kembali ke daerah dan untuk apa saja digunakan. - Pembangunan di Wilayah Lingkar Tambang
Prinsip keadilan harus ditegakkan. Masyarakat yang terdampak langsung wajib merasakan manfaat. Pemerintah bisa mendorong skema corporate social responsibility (CSR) yang lebih terukur, bukan sekadar bantuan seremonial. - Pengawasan Lingkungan
Pertambangan tanpa kontrol lingkungan adalah bencana jangka panjang. Pemprov perlu memperkuat sinergi dengan DLH, aparat penegak hukum, hingga lembaga independen agar praktik tambang ilegal, reklamasi tanpa izin, atau pembuangan limbah bisa dicegah sejak awal.
Tantangan untuk Pemerintah Pusat
Namun pekerjaan rumah tidak hanya ada di tingkat provinsi. Pemerintah pusat pun memikul tanggung jawab besar:
- Revisi Skema DBH
Formula pembagian DBH sering kali dipandang tidak adil oleh daerah penghasil. Sultra, yang menyumbang triliunan rupiah, seharusnya mendapat porsi lebih besar agar dapat membiayai pembangunan infrastruktur dan mengatasi dampak lingkungan di wilayah tambang. - Hilirisasi yang Berkeadilan
Program hilirisasi nikel yang dicanangkan pemerintah pusat harus benar-benar memberi nilai tambah di daerah. Jangan sampai hanya memindahkan smelter ke Sultra tanpa transfer teknologi dan peningkatan kualitas tenaga kerja lokal. - Penegakan Hukum Konsisten
Pemerintah pusat melalui kementerian teknis harus konsisten menindak pelanggaran, baik izin ilegal, reklamasi tanpa PKKPRL, maupun praktik pencucian bijih (ore blending). Lemahnya pengawasan pusat akan berimbas langsung pada kerusakan lingkungan dan citra buruk industri tambang.
Harapan Rakyat Sultra
Angka Rp16,351 triliun dari PNBP dan Rp6,3 triliun dari DBH bukanlah angka kecil. Namun angka itu hanya akan menjadi statistik tanpa makna jika tidak diikuti oleh kesejahteraan nyata bagi rakyat Sultra. Tambang seharusnya menjadi berkah, bukan kutukan.
Sulawesi Tenggara membutuhkan keberpihakan nyata dari pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat. Karena hanya dengan tata kelola yang adil, transparan, dan berkelanjutan, kekayaan tambang bisa benar-benar menjelma menjadi kesejahteraan rakyat, bukan sekadar cerita tentang “triliunan rupiah” yang lewat begitu saja. (bar)