PILARSULTRA.COM, KHAZANAH — Di era media sosial, fenomena flexing atau pamer kekayaan dan kemewahan menjadi semakin umum. Orang berlomba menampilkan mobil mewah, liburan eksklusif, rumah megah, hingga saldo rekening yang fantastis. Di balik layar, tampak seolah kesuksesan adalah tujuan utama hidup. Namun, dari sudut pandang Islam, sikap seperti ini tidak bisa dipandang remeh: ia bisa menjerumuskan pelakunya ke dalam kesombongan, penyakit hati, bahkan jebakan istidraj.
Riya, Takabbur, dan Bahaya Hati
Riya (pamer agar dipuji orang) dan Takabbur (merasa lebih tinggi) adalah dua sifat yang secara tegas dikecam dalam Islam. Keduanya sering menjadi niat tersembunyi di balik flexing.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi.” (HR. Muslim)
Pesan ini mengingatkan bahwa kesombongan bukanlah hal kecil. Ia bisa menghapus amal kebaikan dan menghalangi seseorang dari rahmat Allah.
Ketika Nikmat Menjerat: Konsep Istidraj
Istidraj adalah keadaan ketika Allah tampak memberi kenikmatan duniawi secara terus-menerus kepada seseorang, padahal sesungguhnya nikmat itu adalah jalan perlahan menuju azab, karena orang tersebut makin jauh dari rasa syukur dan taubat.
Allah berfirman:
“Kami akan menarik mereka dengan perlahan-lahan (menuju kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-A’raf: 182)
Dalam konteks ini, flexing bisa menjadi salah satu tanda istidraj: ketika seseorang mengira harta dan popularitasnya adalah bukti cinta Allah, padahal justru ujian yang membuatnya makin lalai dan jauh dari-Nya.
Dampak Sosial Flexing
Selain membahayakan pelakunya, flexing juga berdampak buruk bagi masyarakat. Ia menumbuhkan iri, dengki, rasa rendah diri, bahkan memicu budaya konsumtif dan utang demi “tampil mewah”.
Di tengah kesenjangan ekonomi, gaya hidup pamer ini menambah luka sosial: yang kaya merasa semakin tinggi, yang miskin merasa semakin rendah. Padahal Islam memerintahkan kepekaan sosial, kesederhanaan (Zuhud), dan sikap saling tolong-menolong.
Harta sebagai Amanah
Islam tidak pernah melarang kekayaan. Justru umat Islam didorong untuk bekerja keras dan menjadi kuat secara ekonomi. Namun, kekayaan adalah amanah, bukan alat kesombongan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki orang saleh.” (HR. Ahmad)
Artinya, harta seharusnya digunakan untuk menebar manfaat: zakat, infak, sedekah, dan membantu yang lemah. Kekayaan sejati bukanlah yang tampak di media sosial, melainkan yang dirasakan orang lain dari tangan kita yang memberi.
Dampak sosial Flexing di tengah ketimpangan ekonomi rakyat itu nyata. Kita telah menyaksikan bagaimana pada demo besar Agustus 2025 termasuk kerusuhan di Nepal; kesenjangan sosial yang diperparah oleh budaya pamer harta para elit menjadi salah satu pemantik kemarahan generasi muda dan rakyat biasa. Mereka merasa ditertawakan di tengah kesulitan hidup yang semakin berat.
Karena itu, membangun budaya kesederhanaan dan empati menjadi sangat penting. Media dan pemerintah harus bersinergi menciptakan ruang informasi yang mendidik, bukan memprovokasi iri sosial. Masyarakat pun perlu kembali pada nilai-nilai ajaran Islam yang mengutamakan syukur, qanaah, dan kepedulian sosial agar kekayaan menjadi berkah buat semua, bukanlah bencana. (bar)