Oleh : Sabaruddin Hasan – Jurnalis

Kota Kendari kembali mendapat kepercayaan sebagai tuan rumah dua agenda besar berskala nasional: Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Produk Hukum Daerah (PHD) serta Seleksi Tilawatil Quran dan Musabaqah Hadist (STQH) Nasional. Kepercayaan ini tentu bukan hanya sebatas seremoni atau ajang silaturahmi antar daerah, melainkan juga membawa konsekuensi ekonomi, sosial, hingga politik yang patut kita cermati.
Kegiatan berskala nasional tersebut akan menimbulkan multiplier effect. Ribuan tamu dari seluruh provinsi hadir di Kendari, baik delegasi resmi maupun peserta lomba, pendamping, hingga keluarga. Semua membutuhkan transportasi, akomodasi, konsumsi, dan berbagai kebutuhan harian lainnya.
Hotel-hotel di Kendari yang selama ini sering mengeluhkan rendahnya tingkat okupansi, kini berpeluang penuh. Restoran, warung makan, hingga UMKM kuliner lokal pun mendapat limpahan rezeki. Bahkan pedagang kaki lima, sopir taksi online, dan pelaku transportasi darat ikut merasakan denyut ekonomi.
Pengalaman berbagai daerah menunjukkan, sebuah event nasional bisa mengalirkan belanja miliaran rupiah hanya dalam hitungan hari. Kendari dengan statusnya sebagai ibu kota provinsi, punya kesempatan memperlihatkan diri bukan hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga sebagai destinasi meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE) yang menjanjikan.
UMKM dan Produk Lokal: Momentum Branding
STQH dan Rakornas PHD juga memberi ruang promosi produk lokal. Souvenir, kerajinan tangan, tenun khas Sultra, dan makanan olahan tradisional dapat dipamerkan sekaligus dijual. Event semacam ini ibarat panggung branding gratis bagi UMKM lokal, asalkan Pemda mampu mengatur ekosistem agar pelaku lokal tidak hanya jadi penonton.
Kerap kali kita mendengar keluhan, ketika ada event nasional, vendor besar dari luar daerah justru yang lebih dominan. Maka, tantangan Pemprov dan Pemkot Kendari adalah memastikan keberpihakan kepada UMKM lokal agar dampak ekonomi tidak bocor keluar daerah.
Dimensi Sosial-Religius: Lebih dari Sekadar Ajang Lomba
Jika Rakornas PHD bersifat teknokratis yang membahas arah regulasi dan sinkronisasi hukum daerah, maka STQH memiliki dimensi religius yang sangat mendalam. Kehadiran ribuan qari, qariah, dan hafiz hadist menjadi energi spiritual yang bisa memperkuat identitas Kendari sebagai kota religius dan inklusif.
Masyarakat pun mendapat hiburan bernuansa syiar. Kehadiran mereka bukan sekadar penonton, melainkan bagian dari atmosfer kebersamaan. Spirit ini bisa menjadi energi sosial yang menumbuhkan rasa bangga, rasa memiliki, dan tentu saja kepercayaan diri sebagai warga Kendari.
Martabat Daerah: Politik Simbolik yang Mahal
Perlu dicatat, menjadi tuan rumah dua agenda besar sekaligus bukan perkara sederhana. Ada nilai simbolik yang ingin ditunjukkan: bahwa Sulawesi Tenggara mampu menjadi tuan rumah yang ramah, tertib, aman, dan berkelas. Jika sukses, citra positif ini bisa menjadi modal politik sekaligus investasi sosial jangka panjang.
Sebaliknya, jika gagal, maka dampak buruknya bisa lebih dalam; citra sebagai tuan rumah yang tidak siap, tidak ramah, bahkan tidak profesional. Karena itu, kesuksesan event ini bukan hanya urusan panitia, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat Kendari.
Menatap ke Depan
Rakornas PHD dan STQH Nasional jangan dilihat hanya sebagai agenda seremonial tahunan, melainkan momentum menggerakkan ekonomi lokal. Kita bisa belajar dari kota-kota lain yang berhasil mengemas event nasional menjadi pintu masuk investasi dan pariwisata.
Apabila Kendari mampu menunjukkan wajah ramah, bersih, tertib, dan UMKM lokal diberi ruang, maka dua event ini akan dikenang sebagai titik tolak kebangkitan Kendari sebagai kota MICE di Indonesia Timur.
Pada akhirnya, yang kita harapkan bukan hanya tamu datang dan pergi, melainkan jejak yang mereka tinggalkan: citra positif, ekonomi berputar, dan kepercayaan nasional bahwa Kendari layak dipercaya untuk event lebih besar di masa depan. (bar)