PILARSULTRA.COM, EDITORIAL — Sulawesi Tenggara (Sultra) memasuki fase penting dalam perjalanan pembangunan daerah. Harapan masyarakat terhadap pemerintahan baru, yang dinakhodai Gubernur Andi Sumangerukka dan Wakil Gubernur Hugua, semakin besar seiring deretan agenda strategis yang mulai dijalankan. Namun, di balik euforia itu, ada kenyataan yang tidak bisa diabaikan: sekitar 60 – 70% Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sultra masih bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.
Menjadi penting dan menentukan karena dalam Outlook RAPBN 2026, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 57 Tahun 2025 yang mengatur tata cara pelaksanaan efisiensi belanja dalam APBN, termasuk pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD).
Ketergantungan fiskal ini bukan sekadar angka statistik. Ia adalah potret bagaimana kemampuan fiskal daerah masih jauh dari ideal. PAD (Pendapatan Asli Daerah) Sultra memang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, tetapi porsinya belum cukup untuk menopang kebutuhan pembangunan secara mandiri. Selama dana transfer pusat masih menjadi penopang utama, Sultra harus jujur mengakui keterbatasan ruang geraknya.
Di satu sisi, transfer dana dari pusat merupakan bentuk pemerataan dan komitmen negara hadir bagi daerah. Tetapi di sisi lain, ketergantungan yang terlalu besar membuat daerah rentan. Bila kebijakan fiskal nasional mengetat, otomatis Sultra akan ikut tertekan. Ini pernah terbukti pada masa pandemi, ketika refocusing anggaran dari pusat membuat banyak program pembangunan di daerah tersendat.
Dalam konteks itulah, penting bagi pemerintah provinsi menegaskan visi kemandirian fiskal. Perlu ada terobosan untuk memperkuat PAD melalui sektor-sektor potensial yang menjadi keunggulan Sultra: pertambangan, perikanan, perkebunan, dan pariwisata. Tidak kalah penting, manajemen pajak dan retribusi harus lebih inovatif, transparan, dan terintegrasi dengan sistem digital agar kebocoran bisa ditekan dan kepatuhan meningkat.
Namun, memperkuat PAD saja tidak cukup. Kualitas belanja daerah juga harus dibenahi. Belanja publik harus benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat, bukan sekadar mengulangi pola seremonial dan proyek-proyek yang minim dampak. Setiap rupiah yang dibelanjakan mesti menghasilkan nilai tambah yang nyata, baik berupa peningkatan layanan publik maupun penguatan daya saing ekonomi daerah.
Dalam beberapa kesempatan, Gubernur ASR menegaskan pentingnya efisiensi birokrasi dan pembangunan yang berorientasi pada masyarakat kecil. Komitmen ini harus diwujudkan dengan konsistensi kebijakan. Sebab, publik Sultra kini semakin kritis, apalagi akses informasi terbuka lebar. Keterbukaan data fiskal dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan anggaran akan menjadi kunci kepercayaan publik.
Sultra tidak boleh terus-menerus terjebak dalam ketergantungan. Memang, dana transfer pusat masih akan tetap menjadi bagian dari APBD, tetapi arah kebijakan harus jelas: bertahap mengurangi dominasi transfer dan memperbesar kontribusi PAD. Inilah indikator utama apakah sebuah daerah sedang menuju kemandirian atau tidak.
Di usia kemerdekaan Republik yang ke-80 tahun, Sultra seharusnya berani bermimpi lebih besar. Kemandirian fiskal adalah jalan menuju kedaulatan pembangunan. Sebab hanya dengan itulah Sultra bisa benar-benar berdiri tegak, bukan sekadar menjadi penerima pasif kebijakan dari pusat. (red)












