Oleh: Sabaruddin Hasan – Jurnalis

Pernyataan resmi Gedung Putih pada 22 Juli 2025 bahwa Indonesia telah sepakat untuk mentransfer data pribadi warganya ke Amerika Serikat, mengejutkan publik. Terlebih lagi, Menteri Hukum dan HAM RI menyatakan bahwa langkah tersebut tidak melanggar hak asasi manusia (HAM) sebagaimana dilansir Antara.
Sebagai warga negara sekaligus pengamat yang peduli pada kedaulatan digital, saya menilai pernyataan ini sangat problematik dan berpotensi mengabaikan esensi perlindungan hak privat setiap individu.
Data Pribadi Bukan Milik Negara
Dalam sistem hukum Indonesia, khususnya merujuk pada Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), data pribadi adalah hak milik setiap individu.Negara atau entitas pemerintah hanyalah pengendali data, bukan pemilik. Maka dari itu, setiap bentuk pemrosesan, terlebih lagi transfer data ke luar negeri, harus mendapat persetujuan eksplisit dari pemilik data.
Jika benar data pribadi WNI ditransfer ke negara lain tanpa persetujuan eksplisit dari rakyat sebagai pemilik data, maka itu adalah pelanggaran nyata terhadap UU PDP, dan secara esensial, merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak asasi manusia dalam konteks era digital.
Meskipun alasan yang selama ini dikemukakan adalah demi efisiensi dan kepentingan dagang. Namun, apakah kepentingan ekonomi dapat dijadikan justifikasi untuk mengorbankan hak asasi manusia?
Di saat negara-negara maju justru memperketat regulasi privasi data—seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa, Indonesia justru melangkah mundur dengan membuka pintu selebar-lebarnya bagi negara asing mengakses data penduduknya. Ini ironis, apalagi jika tanpa transparansi dan akuntabilitas.
Pemerintah Bukan Penjamin Kekal
Perlindungan data pribadi tak bisa hanya bertumpu pada siapa yang sedang memimpin. Presiden dan menteri bisa berganti setiap lima tahun, tapi jejak digital yang telah ditransfer tidak bisa ditarik kembali. Data yang telah sampai di tangan perusahaan besar atau lembaga asing bisa digunakan untuk profiling, manipulasi sosial, bahkan intervensi geopolitik.
Artinya, kita menyerahkan kedaulatan digital ke pihak luar tanpa batas waktu.
Hak Asasi Digital Harus Dijaga
Di era informasi, data pribadi adalah identitas baru umat manusia. Perlindungannya bukan hanya urusan hukum administratif, tapi juga bentuk nyata dari penghormatan terhadap harkat dan martabat individu. Negara tidak boleh semena-mena menjadikan data warga sebagai komoditas dagang.
Masyarakat perlu mendesak pemerintah untuk: Mengungkap isi perjanjian transfer data secara transparan, memastikan bahwa setiap individu mendapatkan hak memilih (opt-in/opt-out) dan melibatkan lembaga independen dalam pengawasan pengelolaan data.
Saya bukan menolak kerja sama internasional. Namun, saya menolak ketika kerja sama itu mengorbankan hak dasar warga negara, hak atas privasi dan kendali atas identitas digital. Pemerintah Indonesia seharusnya menjadi pelindung data warganya, bukan hanya sebagai fasilitator kepentingan asing.
Sudah saatnya kita bertanya: Milik siapa sebenarnya data pribadi kita? Kita sendiri, atau negara lain?