EDITORIAL, PILARSULTRA.COM — Kunjungan Jaksa Agung Republik Indonesia, ST. Burhanuddin, ke Sulawesi Tenggara pada Senin, 8 Desember 2025, bukan sekadar seremonial memeriksa kantor kejaksaan daerah. Lawatan ini memuat pesan kuat: Kejaksaan Agung menaruh perhatian serius terhadap dinamika penegakan hukum di Bumi Anoa—khususnya sektor pertambangan yang selama ini menjadi sumber kekayaan sekaligus sumber kekacauan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Sultra menjelma sebagai episentrum tambang nikel nasional. Sayangnya, bersama geliat investasi itu muncul pula praktik-praktik kotor: penambangan tanpa izin, manipulasi dokumen, penguasaan lahan ilegal, bahkan dugaan korupsi yang menyeret pejabat dan perusahaan raksasa. Tak sedikit kasus mandek di tengah jalan atau berjalan seperti ritus wajib tanpa hasil nyata.
Di tengah realitas itulah, kedatangan orang nomor satu di tubuh kejaksaan menumbuhkan harapan: ada gebrakan, ada tindakan, dan ada perubahan nyata.
Sinyal Awal: Lebih dari Lima Perusahaan Masuk Radar Penindakan
Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, mengungkapkan bahwa lebih dari lima perusahaan tambang di Sultra terindikasi menunggak kewajiban dan melanggar aturan. Data ini bukan sembarang temuan; informasi tersebut berasal dari operasi Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), sebuah operasi terpadu yang melibatkan kejaksaan, kepolisian, TNI, hingga kehutanan.
Ini memberi sinyal bahwa Kejagung telah memegang daftar perusahaan “bermasalah” yang selama ini diduga menjalankan operasi tambang tanpa izin, merusak kawasan hutan, atau mengabaikan kewajiban administratif.
Pertanyaannya, apa langkah berikutnya? Apakah kasus-kasus ini akan naik ke penyidikan? Atau akan berhenti sebatas sanksi administrasi?
Publik berharap, daftar tersebut bukan sekadar “data dalam laporan”, tetapi menjadi pijakan tindakan tegas—terutama di sektor yang selama bertahun-tahun menjadi ladang abu-abu antara kepentingan ekonomi dan penegakan aturan.
Ujian Integritas dan Konsistensi Penegakan Hukum
Sultra telah berkali-kali menjadi sorotan nasional dalam kasus pertambangan. Mulai dari penyelundupan ore, manipulasi dokumen, hingga kasus mega korupsi pertambangan yang masih disorot publik.
Kunjungan Jaksa Agung kali ini menjadi momen evaluasi total bagi institusi kejaksaan di tingkat Kejati dan Kejari:
- Apakah ada penanganan kasus yang mengambang tanpa alasan jelas?
- Apakah ada intervensi kepentingan dalam proses penegakan hukum?
- Apakah kejaksaan daerah sudah bekerja optimal atau justru menjadi bagian dari masalah?
Jawaban atas pertanyaan ini hanya dapat dibuktikan melalui tindakan nyata setelah kunjungan usai.
Harapan di Tengah Kekecewaan Publik
Sulawesi Tenggara adalah daerah kaya, tetapi ironisnya tak sedikit masyarakatnya hidup di bawah garis kesejahteraan. Sementara itu, perusahaan-perusahaan tambang mengeruk miliaran hingga triliunan rupiah dari tanah ini.
Kekecewaan publik bukan tanpa alasan. Penegakan hukum yang tidak tegas hanya akan memperpanjang rantai ketidakadilan ekologis dan ekonomi.
Karena itu, langkah Kejagung meninjau langsung tiga satuan kerja Kejati Sultra, Kejari Konawe, dan Kejari Kendari harus dibaca sebagai upaya menegakkan kembali standar integritas penegakan hukum, bukan sekadar inspeksi rutin.
Gebrakan yang Ditunggu: Klarifikasi, Transparansi, dan Penindakan Nyata
Ada tiga hal yang kini dinanti publik Sultra:
1. Penindakan Tegas Perusahaan Bermasalah
Tidak cukup dengan denda administratif.
Penambangan ilegal dan perusakan kawasan hutan adalah tindak pidana serius. Publik ingin melihat penyidikan, bukan sekadar “peringatan”.
2. Evaluasi Internal Kejati dan Kejari
Apakah ada penyimpangan?
Apakah ada kasus yang sengaja diperlambat?
Kejagung perlu membuka hasil evaluasi kepada publik.
3. Transparansi Proses Hukum
Setiap perusahaan yang masuk radar Satgas PKH harus diumumkan.
Kerahasiaan tanpa alasan hanya akan memperkuat kecurigaan publik.
Momentum yang Tidak Boleh Hilang
Kunjungan Jaksa Agung ke Sulawesi Tenggara adalah momentum penting. Namun momentum hanya akan menjadi sejarah kecil bila tidak diikuti tindakan besar.
Sektor tambang Sultra membutuhkan pembersihan menyeluruh, bukan retorika. Masyarakat membutuhkan keadilan, bukan laporan kegiatan.
Publik meyakini bahwa penegakan hukum yang kuat adalah fondasi pembangunan daerah yang berkeadilan. Karena itu, kita menanti dan akan terus mengawasi gebrakan Jaksa Agung setelah meninggalkan Sulawesi Tenggara.
Penegakan hukum yang tegas bukan sekadar pekerjaan, tetapi amanah untuk memperkuat informasi, keadilan, dan masa depan daerah. (redaksi)














