PILARSULTRA.COM — Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dalam rangka penajaman data dan informasi kewilayahan sebagai dasar penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2027.
Rakor ini digelar secara virtual pada Rabu, 16 Juli 2025 mulai pukul 09.00 WITA. Kegiatan ini dilaksanakan berdasarkan Permen PPN/Kepala Bappenas Nomor 2 Tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian PPN/Bappenas, di mana Direktorat Pembangunan Indonesia Timur ditugaskan mengampu wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
Kegiatan tersebut diikuti oleh sejumlah kepala organisasi perangkat daerah lingkup Pemprov Sultra, di antaranya:
- Kepala Bappeda Sultra
- Kadis Pendidikan dan Kebudayaan
- Kadis Kesehatan
- Kadis Penanaman Modal dan PTSP
- Kadis Energi dan Sumber Daya Mineral
- Kadis Tanaman Pangan dan Peternakan
- Kadis Kelautan dan Perikanan
- Kadis Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
- Kadis Perindustrian dan Perdagangan
- Kadis Pekerjaan Umum dan Tata Ruang
Bahas Isu Strategis dan Dukungan Program 2027
Rakor ini memfokuskan pembahasan pada: Isu strategis sesuai bidang masing-masing OPD, dan Dukungan daerah terhadap program tahun 2027, termasuk pemetaan lokasi prioritas serta sinergi dengan 93 Kawasan Prioritas Utama (KPU) dalam dokumen RPJMN 2025–2029.
Catatan Dinas ESDM Sultra
Dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sultra, disampaikan beberapa isu utama:
Bidang Mineral dan Batubara
Kewenangan Lemah, PAD Tambang Sultra Tidak Maksimal
Dalam sesi diskusi Rakor, Kepala Bidang Minerba Dinas ESDM Sultra, Hasbullah , menyampaikan isu strategis terkait pengelolaan sektor pertambangan, khususnya nikel, yang menjadi andalan perekonomian Sulawesi Tenggara. Namun demikian, terbatasnya kewenangan daerah menjadi hambatan besar dalam optimalisasi kontribusi sektor ini terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Saat ini, kewenangan perizinan dan pengelolaan pertambangan nikel berada sepenuhnya di pemerintah pusat, sementara kabupaten/kota yang paling terdampak langsung oleh aktivitas tambang tidak memiliki ruang kendali. Pemerintah provinsi pun hanya memiliki kewenangan terbatas pada komoditas mineral bukan logam dan batuan.
Kondisi ini berdampak pada minimnya penerimaan daerah dari sektor pertambangan, seperti potensi dari:
- Pajak Alat Berat,
- Pajak Air Permukaan,
- Pajak Kendaraan Bermotor, dan
- Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
Lebih lanjut, Dinas ESDM menyoroti lemahnya pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat (CSR/TJSL) oleh perusahaan tambang. Kegiatan ini selama ini kurang melibatkan pemerintah daerah, sehingga tidak termonitor secara efektif dan tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan masyarakat sekitar tambang.
Hilirisasi Tak Jamin Kemandirian Fiskal Daerah
Meski hilirisasi nikel terus dikampanyekan, faktanya di lapangan masih ditemukan berbagai dampak negatif:
- Kerusakan lingkungan dan pencemaran,
- Konflik agraria dan sengketa lahan,
- Gangguan sosial kemasyarakatan,
- CSR yang tidak berjalan maksimal, dan
- Minimnya kontribusi terhadap kemandirian fiskal daerah.
Pemprov Sultra mendorong agar pemerintah pusat lebih melibatkan daerah dalam perencanaan, pengawasan, dan pemanfaatan dampak ekonomi dari kegiatan pertambangan, agar potensi besar sumber daya alam tidak hanya dinikmati segelintir pihak, melainkan benar-benar menjadi motor kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tenggara.
Bidang Ketenagalistrikan dan Geologi-Air Tanah
- Akses Listrik Desa
Kabid Ketenagalistrikan, Muh. Ilyas, menyebutkan bahwa hingga saat ini masih terdapat 50 desa di Sultra yang belum teraliri listrik PLN.
“Permasalahan utamanya terletak pada infrastruktur jalan yang belum memadai dan keberadaan desa yang berada di kawasan hutan lindung. PLN butuh izin khusus untuk membangun jaringan di wilayah tersebut,” ungkapnya.
Pihaknya berharap melalui fasilitasi Bappenas, hambatan koordinasi lintas kementerian dan lembaga dapat diselesaikan secara tuntas. - Pengusahaan Air Tanah Tak Berizin
Menurut Muh. Ashar, perwakilan bidang Geologi dan Air Tanah Dinas ESDM, meski terdapat peningkatan signifikan izin pengusahaan izin air tanah ini meningkat dibanding bulan sebelumnya, namun masih terdapat 83 persen pengusahaan air tanah di Sultra belum mengantongi izin, meskipun sebagian pelaku mengaku telah membayar pajak ke pemerintah kabupaten/kota.
“Permasalahan ini berpotensi merusak konservasi air tanah jangka panjang. Kami berharap ada penegasan koordinasi dan pengawasan di tingkat provinsi sesuai amanat Pergub No. 39 Tahun 2020 tentang Air Tanah,” jelasnya.
Sorotan Dinas Lain: Konektivitas Pariwisata
Dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, permasalahan infrastruktur konektivitas destinasi wisata menjadi sorotan utama. Akses menuju destinasi prioritas dinilai masih belum memadai dan menjadi penghambat pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan.
Rakor ini menjadi bagian penting dalam proses integrasi perencanaan antara pusat dan daerah, khususnya dalam menyusun program pembangunan yang berbasis data, lokasi prioritas, dan kebutuhan riil masyarakat. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara berharap aspirasi yang disampaikan dalam forum ini dapat menjadi perhatian dalam penyusunan RKP 2027 oleh Kementerian PPN/Bappenas.
Hingga berita ini ditayangkan, rakor tersebut masih berlangsung hingga pukul 15.40 Wita (bar)