Oleh: Redaksi Pilar Sultra
Indonesia kembali jadi sorotan dunia. Bukan karena diplomasi, bukan karena teknologi. Tapi karena kita menyimpan cadangan nikel terbesar di planet ini, melampaui Australia, Rusia, hingga Filipina. Hebat? Ya. Tapi ironis.
Karena jantung cadangan nikel itu berdetak di Sulawesi Tenggara, di tanah Bumi Anoa. Dan tahukah Anda? Rakyat di sekitarnya—dari Bombana, Kolaka, Konawe, hingga lokasi lainnya — sebagian masih bergulat dengan jalan rusak, air kotor, pendidikan seadanya, dan harga kebutuhan pokok yang mencekik.
Sejak awal 2024, cadangan nikel nasional ditaksir mencapai 23,8 juta ton. Sebagian besar—sekitar 40% lebih—berasal dari Sulawesi Tenggara. Tetapi alih-alih melihat pembangunan, masyarakat sekitar tambang justru menyaksikan gundulnya hutan, rusaknya sungai, dan polusi debu yang menyelimuti rumah mereka.
Lalu siapa yang menikmati nikel ini?
Investor asing.
Segelintir elit lokal.
Dan sebagian kecil tenaga kerja kontrak yang bergaji minim tanpa jaminan masa depan.
PAD Sultra Tidak Mencerminkan Potensi Nikel
Menurut data APBD 2024, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sultra tidak sampai 3% dari potensi nikel yang keluar dari tanahnya. Ini kegagalan sistemik.
Hilirisasi yang dijanjikan belum benar-benar menyentuh masyarakat. Justru, kawasan industri nikel besar dikelilingi oleh pemukiman warga yang sebagian besar belum tersentuh infrastruktur dasar.
Lalu untuk siapa kekayaan ini dikeruk?
Pemerintah Harus Berani Ubah Skema
Gubernur ASR dan Wagub Hugua sudah menyuarakan soal multiplier effect yang belum terasa. Tapi pernyataan tak cukup. Diperlukan langkah radikal dan konkret, antara lain:
- Audit total izin tambang aktif dan evaluasi ulang kontribusinya terhadap PAD.
- Terapkan Dana Kompensasi Wilayah Tambang (DKWT) agar setiap ton nikel yang keluar memberikan kontribusi langsung bagi masyarakat lokal.
- Pemberdayaan koperasi lokal dan UMKM berbasis tambang.
- Fasilitasi masyarakat lokal dalam rantai pasok—bukan hanya jadi buruh kasar.
- Bangun Balai Latihan Kerja (BLK) Industri Nikel Sultra agar anak-anak daerah bisa jadi tenaga ahli, bukan hanya penonton.
Rakyat Tidak Butuh Janji, Mereka Butuh Akses dan Keadilan
Wajah kemiskinan dan kerusakan lingkungan di sekitar tambang adalah tamparan keras bagi narasi “Sultra Lumbung Nikel Dunia”. Kalau negara ingin dipercaya, dan pemerintah daerah ingin dihargai, maka keadilan ekonomi harus dihadirkan sekarang. Bukan besok.
Karena setiap ton nikel yang diekspor tanpa manfaat bagi rakyat lokal adalah bentuk eksploitasi terselubung yang disahkan oleh diamnya negara.
Rakyat Sulawesi Tenggara tidak menolak pembangunan. Mereka hanya ingin keadilan. Kalau mereka bisa hidup berdampingan dengan tambang tanpa kehilangan hutan, air, dan masa depan anak-anaknya—maka saat itulah Sultra benar-benar menjadi lumbung strategis, bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga untuk warganya sendiri.