EDITORIAL, PILARSULTRA.COM — Lahan-lahan di Sulawesi Tenggara (Sultra) terus berdarah. Di satu sisi, ada klaim kepatuhan korporasi dan regulasi yang menjamin pemulihan lingkungan. Di sisi lain, sisa-sisa lubang tambang yang ditinggalkan, seperti di Kabaena, menjadi bukti paling telanjang bahwa janji hanyalah rangkaian kata tanpa makna.
Data yang dipegang publik menunjukkan sebuah fakta ironis: Rp 288.594.842.373 dana Jaminan Reklamasi (Jamrek) dan Jaminan Pascatambang (JPT) telah ditempatkan di Sultra. Dengan rincian Jamrek senilai Rp 257,6 Miliar dan JPT senilai Rp 31 Miliar, seharusnya dana hampir 289 Miliar Rupiah ini cukup untuk memulihkan kerusakan di kawasan IUP seluas 100.867 hektar.
Lantas, jika dana jaminan sebegitu besar ada, mengapa kerusakan permanen justru kian merajalela?
Angka Jumbo, Dampak Nol
Total jaminan nyaris Rp 289 Miliar tersebut adalah modal negara yang ditempatkan sebagai jaminan terakhir. Dana ini harusnya dapat langsung dieksekusi oleh Pemerintah jika pemegang IUP/IUPK mangkir dari kewajibannya. Namun, realitas lapangan menunjukkan bahwa Jaminan Reklamasi—yang secara spesifik ditujukan untuk pemulihan lahan terganggu selama operasi—justru gagal berfungsi sebagai penjamin.
Kami melihat tiga kelemahan fundamental yang membuat Jaminan ini mandul, seperti :
Disparitas Nilai dan Luas Lahan
Total jaminan Rp 289 Miliar untuk 100.867 hektar IUP berarti rata-rata jaminan yang ditempatkan per hektar sangat kecil jika dibandingkan dengan biaya riil pemulihan ekosistem nikel yang kompleks.
Perhitungan sederhana saja menunjukkan bahwa nilai JPT (Rp 31 Miliar) yang seharusnya mencakup seluruh biaya penutupan tambang dan pemeliharaan jangka panjang, terlalu minim untuk wilayah tambang yang luas. Ini menguatkan dugaan kuat adanya ketidaksesuaian perhitungan atau praktik under-budgeting yang disetujui dalam Rencana Reklamasi dan Pascatambang.
Jaminan Reklamasi Bukan Jaminan Kebersihan Lingkungan
Jamrek (Rp 257,6 Miliar) hanya dihitung berdasarkan luas lahan yang direncanakan untuk terganggu dalam kurun waktu tertentu, bukan total IUP. Namun, masalah timbul ketika: a) Perusahaan mengganggu lahan melebihi batas yang dijaminkan. b) Perusahaan melakukan penambangan dan meninggalkan lubang-lubang maut sebelum Jaminan mereka dieksekusi.
Ketika perusahaan melarikan diri, Pemerintah sulit mencairkan Jaminan Pascatambang (JPT) yang nominalnya kecil, sementara Jamrek yang besar (Rp 257,6 Miliar) terkadang sulit dicairkan karena terganjal prosedur atau sengketa hukum.
Kelemahan Eksekusi dan Kepastian Hukum
Ini adalah titik paling krusial. Adanya dana Rp 289 Miliar tidak berarti apa-apa jika Pemerintah (Kementerian ESDM) lamban dalam mencairkannya. Berlarut-larutnya proses sanksi administratif dan hukum membuat kerusakan lingkungan yang seharusnya bisa diperbaiki dengan dana jaminan menjadi eksponensial. Lubang tambang yang dibiarkan selama satu musim hujan akan menimbulkan kerusakan hidrologi dan erosi yang jauh lebih parah, membuat biaya pemulihan riil membengkak jauh melebihi nilai jaminan.
Akhiri Ilusi Kepatuhan
Publik mendesak otoritas terkait untuk segera mengambil langkah revolusioner yaitu (1) Audit Ulang Total Jaminan: Lakukan audit menyeluruh terhadap Rencana Reklamasi dan Pascatambang (RPT) seluruh IUP di Sultra. Paksa perusahaan menaikkan nominal Jaminan hingga benar-benar mencukupi biaya riil penanganan void dan AAT, (2) Percepat Pencairan: Permudah proses pencairan dana Jamrek/JPT bagi IUP yang izinnya dicabut atau perusahaan yang nyata-nyata tidak melaksanakan kewajiban, tanpa harus menunggu sengketa hukum yang berlarut-larut dan (3) Transparansi Spasial: Publikasikan peta real-time luasan lahan terganggu (disturbed area) dan ketersediaan Jamrek-nya, agar masyarakat dapat turut mengawasi.
Jaminan Reklamasi seharusnya menjadi payung perlindungan lingkungan, bukan sekadar pelengkap dokumen izin. Kegagalan fungsi Rp 289 Miliar ini adalah kegagalan penegakan hukum yang harus segera diakhiri. Bumi Anoa menuntut keadilan, bukan ilusi jaminan di atas kertas. (red)















