PILARSULTRA.COM — Akuntabilitas penegakan hukum di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, menjadi sorotan tajam setelah Kejaksaan Negeri (Kejari) Bombana dituding bersikap pasif dan gagal bertindak atas laporan dugaan tindak pidana korupsi. Kritik keras ini dilontarkan oleh AP2 Indonesia, yang menilai Kejari Bombana telah melanggar prinsip profesionalitas dan due process of law.
Kekhawatiran utama publik berpusat pada tidak adanya langkah hukum terhadap CV Fadel Jaya Mandiri terkait dugaan penggunaan material galian C ilegal dalam proyek pembangunan Jalan Bypass-Rumbia yang menelan anggaran fantastis, kurang lebih Rp 13 Miliar.
Laporan Lengkap, Tindak Lanjut Nihil
Ketua Umum AP2 Indonesia, Fardin Nage, mengungkapkan dalam rilis tertulis yang redaksi terima bahwa laporan resmi terkait dugaan penggunaan material ilegal ini telah disampaikan secara berjenjang.
“Secara administratif, AP2 Sultra telah menyampaikan laporan resmi terkait dugaan tindak pidana penggunaan material ilegal tersebut kepada Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara pada 12 Oktober 2025,” kata Fardin Nage.
Laporan tersebut kemudian diteruskan secara resmi ke Kejari Bombana pada November 2025. Namun, Fardin menegaskan, sejak laporan itu diterima, Kejari Bombana sama sekali tidak menunjukkan keseriusan dalam penanganan.
“Sampai dengan saat ini, tidak ada klarifikasi terhadap pelapor, tidak ada pula tindak lanjut penyelidikan, tidak ada pemeriksaan lapangan, dan tidak ada pemanggilan pihak yang diduga terlibat,” tegas Fardin.
Maladministrasi dan Kegagalan Mandat Konstitusional
Dalam perspektif hukum administrasi, Fardin menilai sikap diam Kejari Bombana sebagai bentuk maladministrasi penegakan hukum dan nonfeasance—yaitu kegagalan menjalankan kewenangan wajib.
“Ini aneh, laporan sudah kami masukan ke Kejati Sultra pada 13 Oktober 2025 dan diteruskan ke Kejari Bombana pada November 2025. Namun, sampai saat ini tidak ada tindak lanjut apa pun. Ini bukan lagi kelalaian ringan, tetapi bentuk pembangkangan terhadap mekanisme hukum internal kejaksaan,” tukasnya.
AP2 Indonesia menekankan bahwa ketidakresponsifan ini bukan sekadar kelemahan teknis, melainkan sudah masuk kategori pelanggaran serius terhadap asas responsivitas lembaga kejaksaan dan Undang-Undang Kejaksaan RI.
Desakan Intervensi Jaksa Agung dan Aksi di Hari Anti Korupsi
Sikap pasif Kejari Bombana, menurut Fardin, justru melahirkan dugaan publik yang lebih serius, yakni potensi konflik kepentingan atau intervensi ketika aparat hukum diam saat pelanggaran terjadi secara terang-terangan.
Menyikapi kondisi ini, AP2 Indonesia mengeluarkan tuntutan tegas agar Jaksa Agung dan Kejati Sultra didesak untuk mengambil alih penanganan kasus tersebut.
Perlu dilakukan evaluasi struktural, audit etik, dan investigasi khusus terhadap Kejari Bombana jika independensinya terbukti terganggu.
“Negara tidak boleh dikalahkan oleh kelalaian aparat. Jika Kejari Bombana tetap pasif, maka institusi itu telah gagal menjalankan mandat konstitusionalnya,” pungkas Fardin Nage.
Sebagai puncak desakan, AP2 Indonesia memastikan akan menggelar aksi di depan kantor Kejaksaan Agung RI pada 9 Desember 2025, bertepatan dengan Hari Anti Korupsi Sedunia (HARKODIA), untuk mendesak tindakan segera dan tegas. (rils)












