EDITORIAL, PILARSULTRA.COM — Kasus dugaan korupsi pengadaan kapal Azimut kembali bergema. Bukan hanya karena nilai kerugian negara yang disebut mencapai miliaran rupiah, tetapi karena kasus ini seperti menjadi potret kecil dari masalah yang lebih besar: mengapa begitu banyak perkara yang menyeret pejabat penting di daerah ini berakhir tanpa kepastian?
Desakan Gerakan Persatuan Mahasiswa Indonesia (GPMI) agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Ketua DPW Partai NasDem Sulawesi Tenggara, Ali Mazi, adalah suara yang lahir dari kekecewaan publik. Suara yang muncul dari rasa tidak puas terhadap lambannya perkembangan penyidikan, meski audit kerugian negara telah dirilis, tersangka telah ditetapkan, dan sederet saksi—termasuk mantan gubernur—telah diperiksa.
Pertanyaannya sederhana: Mengapa kasus ini berjalan, tetapi tidak pernah sampai ke ujung?
Kita Tidak Boleh Terjebak pada Persepsi Kebal Hukum
Editorial ini tidak sedang mengadili siapa pun. Prinsip praduga tak bersalah adalah garis merah yang wajib dipertahankan. Namun publik juga berhak bertanya ketika sebuah perkara menyangkut uang negara tidak menampakkan kemajuan berarti. Ketika proses hukum terlalu lama tanpa kejelasan, lahirlah persepsi—dan persepsi sering kali lebih berbahaya daripada fakta.
Jika publik mulai beranggapan ada pejabat yang kebal hukum, maka itu bukan semata karena isu liar, melainkan karena ketidakpastian yang dibiarkan terlalu lama.
Dan ketidakpastian adalah musuh utama kepercayaan publik.
Kapal Azimut: Produk dari Sistem yang Rapuh?
Kapal Azimut yang seharusnya menjadi aset kendaraan operasional Pemprov Sultra, justru menjadi simbol dari tata kelola yang dipertanyakan. Audit BPKP menyebut adanya pembelian kapal bekas yang tidak sesuai spesifikasi, dan kerugian negara ditaksir lebih dari Rp8 miliar. Sebuah angka yang tidak mungkin dianggap kecil dalam konteks kemampuan fiskal daerah.
Jika benar ada penyimpangan, maka persoalan ini bukan sekadar soal salah urus, tetapi soal integritas dalam pengelolaan anggaran publik. Dan ketika integritas dipertaruhkan, maka masa depan tata kelola pemerintahan pun ikut dipertaruhkan.
KPK Harus Hadir, Bukan Sekadar Dipanggil Namanya
Sulawesi Tenggara membutuhkan kepastian hukum, bukan sekadar janji koordinasi. Keberadaan tim pencegahan KPK di Kendari beberapa waktu lalu adalah langkah baik, tetapi publik juga menuntut aksi yang lebih konkret dalam konteks penindakan.
KPK perlu memastikan bahwa setiap dugaan korupsi, siapa pun aktornya, diperlakukan setara. Tidak boleh ada kesan bahwa jabatan politik atau kekuatan partai dapat menjadi perisai dari proses penyidikan.
Kita tidak sedang meminta KPK menghukum seseorang. Kita hanya meminta KPK bekerja dengan penuh integritas.
Penegakan Hukum yang Tuntas Adalah Investasi Masa Depan
Sulawesi Tenggara sedang memulai bab baru pembangunan. Infrastruktur bergerak, investasi masuk, dan dinamika politik semakin hangat. Namun semua itu akan sia-sia jika pondasi birokrasi rapuh dan kepercayaan publik runtuh.
Penuntasan kasus kapal Azimut bukan sekadar tuntutan politis atau teriakan demonstran. Ini adalah kesempatan untuk memperbaiki standar pemerintahan, memperkuat tata kelola, dan mengirim pesan bahwa Sulawesi Tenggara bukan tanah subur bagi praktik korupsi.
Kami berpendapat KPK harus memastikan kasus kapal Azimut ditangani sampai tuntas. Siapa pun yang terlibat harus diperiksa tanpa pandang bulu. Transparansi adalah kunci, dan publik berhak mengetahui perkembangan perkara yang menyangkut uang negara.
Keadilan tidak boleh menunggu siapa yang menjabat atau siapa yang berpengaruh. Keadilan hanya perlu satu hal: ditegakkan. (redaksi)













