EDITORIAL, PILARSULTRA.COM — Pulau Kabaena di Sulawesi Tenggara kini bukan lagi sekadar titik di peta, melainkan simbol paling nyata dari dilema “transisi energi yang adil” di Indonesia. Sambil gencar mempromosikan nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik global, negara seolah membiarkan masyarakat lokal menanggung beban krisis ekologis dan kesehatan yang mematikan.
Naskah yang diangkat oleh Mongabay Indonesia (berdasarkan advokasi Satya Bumi dan organisasi sipil lainnya) melukiskan potret kehancuran yang mengerikan. Sebanyak 70% dari luas pulau Kabaena (891 km²) telah dibebani Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Mongabay menggambarkan eksploitasi selama dua dekade ini menghasilkan kontaminasi logam berat yang ekstrem: kandungan nikel dalam urin warga tercatat 5 hingga 30 kali lipat lebih tinggi dari batas normal, dan kadar logam berat dalam air laut melonjak hingga 7.000% di atas ambang batas aman. Konsekuensinya fatal, masyarakat Bajo terpaksa mengonsumsi kerang beracun, sementara kasus penyakit kronis, termasuk kanker dan kebutaan, meningkat tajam. Kerusakan lingkungan ini secara langsung memiskinkan warga, membuat pendapatan harian nelayan anjlok dari jutaan rupiah menjadi hanya belasan ribu rupiah.
Perisai Hukum yang Terabaikan
Di tengah penderitaan ini, Indonesia sebenarnya memiliki perisai hukum yang kuat. Pada Maret 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan penting (Perkara No. 35/PUU-XXI/2023) yang secara tegas menolak uji materi yang diajukan oleh perusahaan tambang (PT GKP). Putusan ini secara final memperkuat larangan aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil yang luasnya di bawah 2.000 km².
Status Kabaena (891 km²) seharusnya terlindungi mutlak di bawah undang-undang ini. Putusan MK ini adalah mandat konstitusi bagi pemerintah untuk segera mengevaluasi dan mencabut semua IUP yang beroperasi di wilayah tersebut, serta memulai proses pemulihan.
Kesenjangan antara Janji dan Realitas
Sayangnya, mandat hukum ini belum tercermin dalam tindakan yang konsisten di lapangan. Setelah sorotan media dan advokasi internasional, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan berjanji akan turun langsung ke Kabaena pada Juni 2025 dan menjanjikan penegakan hukum tegas, termasuk penagihan biaya pemulihan lingkungan yang besar kepada perusahaan perusak.
Namun, hingga saat ini, tindak lanjut spesifik pasca-kunjungan yang melibatkan penutupan paksa atau penetapan sanksi finansial pemulihan yang masif bagi perusahaan perusak Kabaena belum terdengar gaungnya secara luas. Kesenjangan antara janji penegakan hukum tingkat kementerian dan aksi nyata di lapangan inilah yang menjadi sumber penderitaan berkepanjangan bagi warga.
Kabaena adalah ujian krusial bagi komitmen negara. Jika pemerintah gagal menggunakan instrumen hukum terkuatnya (Putusan MK) untuk menertibkan tambang yang terbukti merusak dan melanggar batas, narasi “transisi energi yang adil” hanyalah retorika kosong yang dibungkus di atas penderitaan masyarakat dan kehancuran ekosistem pulau.
Pemerintah tidak boleh lagi pura-pura buta. Transparansi rantai pasok nikel dan akuntabilitas perusahaan harus ditegakkan. Desakan komunitas internasional dan hukum domestik kini menuntut satu hal: Tutup segera operasi tambang di Kabaena dan gunakan dana tagihan lingkungan untuk memulihkan ekosistem dan kesehatan masyarakat yang telah terampas. Inilah satu-satunya cara membuktikan bahwa hukum dan kemanusiaan lebih berharga daripada keuntungan ekstraktif. (red)















