Pernyataan Presiden Prabowo Subianto di panggung HUT Partai Golkar kembali menggoyang diskursus besar tentang masa depan demokrasi Indonesia. Usulan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia—agar kepala daerah dipilih oleh DPRD—bukan sekadar gagasan teknokratis soal efisiensi biaya politik, tetapi menyentuh jantung sistem demokrasi yang telah berjalan selama dua dekade terakhir: hak rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung.
Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menilai usulan tersebut sebagai solusi untuk mengurangi dominasi politik uang.
“Demokratis tapi jangan buang-buang uang,” ujarnya.
Sebuah pesan yang tampak sederhana, namun sarat makna di tengah tingginya biaya politik nasional. Di berbagai provinsi dan kabupaten, ongkos kontestasi kepala daerah sudah mencapai titik yang sulit dijangkau oleh figur tanpa modal besar, suatu ironi bagi sebuah negara demokratis.
Namun, apakah solusi itu berarti mengembalikan kewenangan penuh kepada DPRD untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota?
Demokrasi yang Efisien atau Demokrasi yang Menjauh dari Rakyat?
Presiden Prabowo menyebut bahwa banyak negara telah menerapkan model serupa: Malaysia, India, Inggris, Kanada, hingga Australia. Tapi konteks Indonesia tidaklah sama. Indonesia memiliki sejarah tersendiri—bahwa pemilihan kepala daerah bukan hanya prosedur, melainkan ruang artikulasi aspirasi rakyat setelah sekian lama sistem lokal dikooptasi oleh elit.
Usulan ini memunculkan pertanyaan mendasar: Apakah demokrasi yang murah harus berarti demokrasi yang lebih jauh dari rakyat?
Efisiensi memang penting. Politik uang adalah penyakit serius. Namun, demokrasi lokal bukan sekadar soal biaya, melainkan soal legitimasi publik. Kepala daerah yang dipilih DPRD berisiko memiliki loyalitas politik yang terputus dari akar masyarakat. Bukan tidak mungkin, politik transaksional justru berpindah dari ruang publik ke ruang tertutup.
Bahlil dan Golkar: Suara yang Konsisten
Yang menarik, usulan ini bukan muncul tiba-tiba. Bahlil Lahadalia telah menyampaikan gagasan serupa berulang kali, termasuk saat membuka Musda Partai Golkar di Kendari, November lalu. Ia menilai mekanisme tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi—karena UUD 1945 hanya mewajibkan pemilihan langsung untuk presiden.
Argumen Bahlil mengacu pada pasal yang memang memberi ruang penafsiran. Namun, ruang konstitusi bukan berarti ruang kosong tanpa risiko sosial. Pergeseran model pemilihan berpotensi mengubah relasi kekuasaan di tingkat lokal secara fundamental.
Sulawesi Tenggara: Laboratorium Politik Lokal
Di Sultra sendiri, dinamika politik lokal dalam dua dekade terakhir menunjukkan bahwa pemilihan langsung, meski tidak sempurna, telah melahirkan kepemimpinan yang berasal dari ragam latar belakang. Dari birokrat, teknokrat, pengusaha, hingga tokoh masyarakat. Sultra adalah bukti bahwa ruang demokrasi memberi kesempatan yang lebih luas kepada putra daerah atau bukan yang bukan bagian dari lingkaran elit partai.
Jika pemilihan dikembalikan ke DPRD, apakah keragaman ini masih mungkin terjadi?
Sebuah Ruang Dialog yang Tak Boleh Terputus
Editorial ini tidak menolak gagasan Prabowo dan Bahlil. Namun, Pilar Sultra menilai penting bahwa setiap perubahan fundamental dalam demokrasi harus melalui dialog publik terbuka—bukan hanya konsolidasi elit. Demokrasi boleh dievaluasi, boleh diperbaiki, bahkan boleh dibuat lebih efisien. Tetapi demokrasi tidak boleh dijauhkan dari rakyat.
Pemerintah pusat, partai politik, dan akademisi harus duduk bersama. Publik harus dilibatkan. Dan suara daerah—suara rakyat di Sulawesi Tenggara—juga harus menjadi bagian dari diskusi ini.
Demokrasi tidak hanya bicara biaya, tetapi juga kepercayaan. Kepercayaan tidak lahir dari ruang tertutup, melainkan dari partisipasi rakyat.
Jika Indonesia memang ingin membangun “sistem politik yang murah”, sebagaimana dikatakan Presiden Prabowo, maka biayanya jangan dibayar dengan mahal: hilangnya hak rakyat untuk menentukan masa depannya sendiri. (redaksi)














