PILARSULTRA.COM, Makassar — Sebuah kisah sore di kawasan Panakkukang menjadi saksi sepenggal peristiwa yang menyentuh hati. Seorang remaja bawah umur tertangkap tangan mencuri dan segera dikepung oleh massa yang marah. Teriakan, caci maki, dan amarah seolah menutup ruang bagi belas kasih. Massa semakin beringas, sebatang kayu terangkat tinggi, siap menghantam tubuh sang remaja.
Di tengah hiruk-pikuk itu, seorang perempuan yang sejak tadi hanya menonton, tiba-tiba maju dengan berani. Dengan suara bergetar, ia berteriak menahan amukan: “Jangan ki, kasihan… bawami saja ke kantor polisi!” Tubuhnya yang kurus melindungi sang remaja. Tangannya meraih kayu yang hendak diayunkan, suaranya pecah bersama tangis. Massa sontak terdiam.
Yang lebih mengejutkan, saat remaja itu menoleh dan mengenali perempuan tersebut. “Mamaaa…” pekiknya sembari memeluk sang ibu. Tangisan pun pecah, bukan hanya dari keduanya, tetapi juga dari sebagian orang yang menyaksikan momen itu.
Perempuan itu adalah ibunya sendiri. Meski anaknya melakukan kesalahan dengan mencuri, naluri keibuan tak bisa dipadamkan. Ia tidak akan tega melihat anaknya terkapar dihakimi massa meskipun bersalah. Sang Ibu hadir di saat paling genting, melindungi, sekaligus memberi ruang agar hukum berjalan sebagaimana mestinya.
Kisah ini menyiratkan pelajaran mendalam. Bahwa di balik segala amarah dan kekecewaan, kasih sayang seorang ibu tetap menjadi benteng terakhir. Ia bukan hanya membela karena cinta, tapi juga mengingatkan bahwa keadilan tidak boleh ditegakkan dengan amarah semata.
Kasih sayang seorang ibu, meski anaknya melakukan kesalahan serius, tetaplah kasih sayang. Ia adalah cinta yang tidak mengenal syarat, sebuah naluri yang muncul justru ketika dunia seolah siap melempar batu. (tin)













