PILARSULTRA.COM, EDITORIAL — STQH Nasional XXVIII tahun 2025 di Sulawesi Tenggara adalah sejarah besar. Setelah 33 tahun menunggu, Sultra akhirnya dipercaya menjadi tuan rumah ajang Qur’ani tingkat nasional. Ribuan kafilah, pejabat pusat, hingga Presiden RI akan hadir. Gema besar ini tentu menjadi kebanggaan.
Namun di balik semarak persiapan, ada ironi yang dirasakan media lokal pada masa kepemimpinan Gubernur ASR. Mereka yang sejak awal mengawal setiap rangkaian persiapan; mulai dari rapat koordinasi, teknis penyelenggaraan, hingga dinamika di lapangan, justru tidak mendapat tempat dalam publikasi resmi. Tidak ada anggaran yang dialokasikan bagi media lokal, seakan peran mereka dianggap tidak penting.
“Tidak pasti, tidak ada anggaran,” kata salah seorang pegawai terdekat Gubernur Andi Sumangerukka singkat.
Bahkan media lokal tertua di Sultra juga mengeluhkan, “kami saja tidak pasti, itu kan even nasional, kita juga perlu persiapan sumber daya,” ujar salah seorang jurnalis senior di media tersebut.
Padahal media lokal adalah “mata dan telinga” masyarakat Sultra yang mencintai daerahnya melebihi dirinya sendiri. Mereka yang memastikan publik memahami bahwa hajatan ini bukan sekadar acara seremonial, tetapi momentum kebersamaan, budaya, dan spiritualitas daerah. Ketika publikasi hanya difokuskan pada media nasional, pesan besar STQH bisa jadi bergema di luar, tetapi justru terasa hampa di rumah sendiri.
Ketidakadilan publikasi ini berpotensi melahirkan luka kultural. Media lokal merasa ditinggalkan di tanahnya sendiri, sementara masyarakat kehilangan kedekatan narasi yang seharusnya dibangun dari perspektif daerah.
Jika ingin STQH benar-benar meninggalkan jejak di hati masyarakat Sultra, pemerintah harus berani memberi ruang yang layak bagi media lokal. Sebab tanpa mereka, gema besar ini hanya akan menjadi pesta sesaat yang cepat dilupakan, bukan warisan literasi Qur’ani yang abadi. (red)