PILARSULTRA.COM, EDITORIAL — Tragedi ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, yang menewaskan setidaknya puluhan orang yang diketahui, menjadi duka nasional yang mengguncang nurani. Tempat yang seharusnya menjadi pusat ilmu dan keteduhan berubah menjadi lautan air mata. Namun lebih menyedihkan lagi, langkah serius pemerintah untuk mengevaluasi seluruh pesantren baru muncul setelah puluhan nyawa melayang.
Menteri Agama Nasaruddin Umar bersama Menko Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menyatakan akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pesantren di seluruh Indonesia. Pernyataan itu terdengar positif, tetapi ironis: mengapa evaluasi baru menjadi prioritas setelah tragedi? Bukankah tugas utama pemerintah adalah melindungi, bukan hanya berduka setelah korban jatuh?
Selama ini, ribuan pesantren berdiri di tengah keterbatasan. Banyak bangunan didirikan secara swadaya, tanpa standar teknis yang memadai, karena dana bantuan pemerintah belum menjangkau semua lembaga. Padahal, di balik kesederhanaan itu ada ribuan santri — anak-anak bangsa — yang setiap hari belajar dengan penuh harapan. Mereka layak mendapatkan jaminan keselamatan yang sama seperti siswa di sekolah negeri.
Tragedi Sidoarjo seharusnya menjadi cermin pahit bagi semua pihak: bahwa pengawasan dan pembinaan terhadap pesantren bukan hanya soal administrasi, tetapi tentang tanggung jawab moral negara terhadap keselamatan warganya. Jika evaluasi hanya digerakkan oleh bencana, maka kebijakan itu bukan langkah antisipatif, melainkan reaksi terhadap kelalaian yang sudah terjadi.
Pemerintah perlu memastikan tragedi ini menjadi titik balik. Evaluasi bukan sekadar pendataan, melainkan reformasi menyeluruh: dari standar bangunan, distribusi anggaran, hingga kesiapan mitigasi bencana di lembaga pendidikan berbasis pesantren. Karena keselamatan santri tidak boleh menunggu jatuhnya korban berikutnya untuk kembali dibicarakan.













