Oleh: Andi Sohrah, SE.,Ak – Konsultan Pajak pada Akurat Consulting
Seperti telah kita ketahui bersama, khususnya bagi mereka yang berkecimpung di dunia akuntansi dan audit; dalam teori akuntansi dan audit, kita mengenal istilah asas materialitas. Artinya, suatu nilai atau transaksi dipandang penting apabila berpengaruh signifikan terhadap laporan keuangan, pengambilan keputusan, atau akuntabilitas publik. Semakin besar nilainya, semakin besar pula perhatian yang harus diberikan.
Namun, apa yang terjadi di birokrasi kita justru sebaliknya. Pengendalian intern dalam praktik di lapangan sering kali berbanding terbalik dengan konsep materialitas itu sendiri.
Bayangkan, seorang pegawai negeri sipil misalnya yang hanya ingin mengajukan reimbursement perjalanan dinas sebesar Rp500 ribu harus melewati prosedur yang panjang dan berliku. Tanda tangan berlapis, cek dokumen detail, hingga kadang ditolak hanya karena nota sedikit kusut atau salah ketik tanggal. Bendahara maupun auditor internal tampak begitu garang dan ketat ketika menyangkut angka-angka kecil.
Tetapi di sisi lain, kita dibuat geleng kepala dengan berbagai laporan resmi penegak hukum. Kejaksaan Agung dan KPK berulang kali mengungkap kasus-kasus korupsi dengan nilai fantastis; ratusan miliar bahkan tembus triliunan rupiah. Ironisnya, justru pada level inilah pengendalian intern terasa lemah, longgar, bahkan “tutup mata.”
Pertanyaan pun muncul: Apakah sistem kita benar-benar bekerja berdasarkan asas materialitas, atau hanya sebatas formalitas?
Jika benar prinsip materialitas diterapkan, maka seharusnya energi terbesar diarahkan pada pengawasan transaksi bernilai besar. Karena di situlah risiko kerugian negara paling besar terjadi. Pengeluaran kecil tetap perlu disiplin, tetapi tidak sampai membebani pegawai dengan birokrasi yang menyiksa.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sering kali pengendalian intern lebih bersifat administratif daripada substantif. Fokusnya pada kelengkapan kertas, bukan pada substansi risiko. Padahal, tujuan utama dari pengendalian intern adalah menjaga agar sumber daya publik tidak disalahgunakan.
Di sinilah pentingnya reformasi pengawasan keuangan. Pemerintah perlu menata ulang fokus pengendalian intern: ketat pada transaksi bernilai besar, proporsional pada transaksi kecil. Audit berbasis risiko dan materialitas harus benar-benar dijalankan, bukan sekadar jargon di atas kertas.
Rakyat berhak tahu karena pemerintah mengelola uang negara yang notabene ‘titipan’ uang rakyat; menuntut pengelolaan keuangan negara yang adil dan efisien. Jangan sampai kita terus-menerus melihat ironi: pegawai kecil dipersulit urusan recehan, sementara pejabat tinggi bisa menjarah triliunan.
Pada akhirnya, publik lelah melihat birokrasi yang hanya keras pada hal-hal kecil, tetapi rapuh di hadapan raksasa korupsi. Kalau uang rakyat triliunan bisa hilang tanpa jejak, untuk apa kita repot dengan nota Rp500 ribu?
Tulisan ini bukan untuk meremehkan pentingnya disiplin pada pengeluaran kecil. Tetapi, mari jujur: kerugian besar negara justru bukan dari kuitansi recehan, melainkan dari permainan anggaran jumbo.
Saatnya asas materialitas benar-benar dihidupkan dalam pengendalian intern pemerintahan. Jika tidak, kita hanya akan terus hidup dalam ironi: negara yang sibuk menghitung receh, tapi gagal menjaga harta karun rakyat. (*)