PILARSULTRA.COM, EDITORIAL — Pergantian kepemimpinan nasional dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto menandai perubahan besar dalam arah ekonomi Indonesia. Jika era Jokowi dikenal dengan kebijakan ekspansi fiskal yang membuat roda ekonomi rakyat berputar cepat, maka era Prabowo dimulai dengan semangat efisiensi dan pengetatan anggaran. Dua pendekatan ini memiliki tujuan yang sama; mensejahterakan rakyat namun melalui jalur yang berbeda.
Uang Beredar dan Rasa “Basah” di Era Jokowi
Selama satu dekade kepemimpinan Jokowi, pemerintah membanjiri ekonomi nasional dengan proyek pembangunan, bantuan sosial, dan belanja publik yang masif.
Dari bendungan hingga jalan tol, dari BLT hingga subsidi BBM — uang negara mengalir deras ke daerah dan menyentuh lapisan terbawah masyarakat. Efeknya langsung terasa: rakyat mudah mendapatkan uang.
Pedagang kecil, buruh proyek, hingga kontraktor lokal merasakan geliat ekonomi. Di masa itu, keluhan yang sering terdengar bukan karena uang sulit, melainkan karena harga naik; tanda klasik dari ekonomi yang “terlalu ramai”.
Namun di balik itu, ada catatan serius: defisit fiskal melebar dan utang negara meningkat signifikan. Ekonomi rakyat memang bergerak, tapi sebagian pertumbuhannya bergantung pada utang dan subsidi. Itulah mengapa, meski rakyat merasa hidup lebih longgar, fondasi fiskal negara menjadi lebih rapuh.
Era Prabowo: Negara Hemat, Rakyat Kering
Kini, di bawah pemerintahan baru Prabowo-Gibran, paradigma ekonomi berubah arah. Kata kuncinya bukan lagi “membangun sebanyak-banyaknya”, melainkan “mengefisienkan sebaik-baiknya.”
Langkah-langkah seperti pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD), reformasi birokrasi, dan pembatasan belanja seremonial membuat APBN lebih terkendali. Negara berhemat, tapi dampaknya langsung terasa di bawah: peredaran uang di masyarakat menurun.
ASN, pelaku UMKM, hingga kontraktor kecil di daerah kini merasakan “keringnya” ekonomi riil. Tidak sedikit yang berujar, “Sekarang uang susah berputar.” Namun di sisi lain, indikator makro tetap stabil, pertumbuhan ekonomi masih di kisaran 5%, inflasi terkendali, dan defisit fiskal mulai mengecil.
Prabowo memilih jalan sulit: mengencangkan ikat pinggang di tahun pertama untuk memperkuat fondasi fiskal jangka panjang. Langkah ini logis secara ekonomi, tapi menantang secara sosial-politik.
Antara Rasa dan Rasio
Perbedaan paling tajam antara Jokowi dan Prabowo adalah rasa ekonomi rakyat. Era Jokowi terasa “hangat” karena uang mudah berputar, walau negara menanggung beban berat. Sementara era Prabowo terasa “dingin”, iskal disiplin, tapi sirkulasi uang publik terbatas.
Di sinilah dilema klasik pembangunan muncul kembali: Apakah negara harus longgar demi kesejahteraan jangka pendek, atau disiplin demi kekuatan jangka panjang?
Jawaban yang ideal adalah keseimbangan antara rasa dan rasio. Rakyat perlu merasakan manfaat langsung dari efisiensi yang dijalankan. Jika negara hemat, tapi rakyat lapar, maka makna efisiensi itu akan kehilangan legitimasi sosialnya.
Menguji Kepemimpinan Prabowo
100 hari pertama Prabowo menunjukkan kepuasan publik yang tinggi — sekitar 80% menurut berbagai survei nasional. Namun kepuasan itu masih bersandar pada harapan, bukan hasil riil di lapangan. Ujian sebenarnya justru baru dimulai: Bisakah pemerintahan ini mengubah efisiensi fiskal menjadi pertumbuhan yang dirasakan rakyat?
Jika jawabannya ya, maka Prabowo akan dikenang sebagai presiden yang menata ulang disiplin fiskal Indonesia tanpa mematikan daya hidup rakyat.
Jika tidak, maka sejarah akan mencatat bahwa di masa ketika negara berhemat, rakyat justru merasa kering.
Ekonomi bukan hanya soal angka, tapi juga soal rasa. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan efisiensi tidak hanya menjaga neraca negara, tapi juga menjaga harapan rakyat. Sebab dalam politik, rakyat tidak menagih laporan keuangan — mereka menagih kesejahteraan. (red)











