PILARSULTRA.COM, EDITORIAL — Ketika rakyat mengeluh ekonomi terasa berat, banyak yang buru-buru menyebut bahwa pemerintahan Prabowo sedang melakukan efisiensi besar-besaran. Padahal, jika dicermati lebih dalam, yang terjadi bukanlah penghematan, melainkan reorientasi fiskal; pergeseran besar arah belanja negara dari basis daerah menuju pusat.
Langkah pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) dan pengurangan sejumlah program pembangunan daerah bukan karena negara kekurangan uang, melainkan karena anggaran itu dipindahkan jalurnya. Uang negara yang dulu berputar lewat proyek infrastruktur, kegiatan ekonomi lokal, dan bantuan sosial, tampaknya kini lebih banyak terserap di program nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Kopdes Merah Putih, serta pembayaran utang negara.
Dari sudut pandang fiskal, kebijakan ini bukan penghematan, tapi pemusatan. Namun dari sisi ekonomi rakyat, efeknya jelas terasa: sirkulasi uang menurun drastis di tingkat bawah. Pedagang kecil, kontraktor lokal, hingga pekerja proyek yang dulu hidup dari roda anggaran daerah kini menghadapi “musim paceklik” perputaran uang.
Kalau pada era Jokowi uang negara mengalir deras lewat proyek fisik dan bansos sehingga pasar rakyat ramai dan perputaran ekonomi hidup, maka di era Prabowo uangnya ditarik kembali ke dapur pusat. Negara memilih menyiapkan makanan besar, tetapi lupa bahwa rakyat di dapur kecil sudah mulai kehabisan bahan bakar.
Dalam bahasa ekonomi politik, langkah ini adalah strategi penataan fiskal yang belum tuntas. Negara mencoba menyehatkan APBN dengan menutup utang dan memperkuat fondasi pangan nasional, tetapi belum menyiapkan kompensasi bagi pelaku ekonomi akar rumput yang kehilangan sirkulasi.
Rakyat tidak menolak penghematan, mereka hanya menuntut keadilan aliran uang. Sebab ketika uang berhenti berputar di daerah, maka denyut ekonomi pun ikut melambat. Dan saat pasar kehilangan pembeli, kebijakan sebesar apa pun akan kehilangan legitimasi sosialnya.
Presiden Prabowo, dengan gaya kepemimpinan yang tegas dan fokus pada kedaulatan ekonomi, tentu memahami bahwa daya tahan bangsa bukan hanya soal ketersediaan pangan dan utang yang lunas, tapi juga soal perut rakyat yang tetap terisi setiap hari. Di titik inilah, arah fiskal perlu kembali seimbang; antara menjaga kas negara dan menjaga napas rakyat. (red)











