Oleh: Tina Tawulo – Jurnalis
Politik anggaran di tingkat daerah kerap menjadi arena kompromi antara kebutuhan pembangunan fisik dan tuntutan pelestarian nilai budaya. Di Sulawesi Tenggara, perdebatan ini menemukan relevansinya ketika berbicara tentang budaya Tolaki, salah satu etnis besar yang mewarnai wajah daerah ini.
Budaya Tolaki memiliki kekayaan simbolik dan praktik sosial yang kuat. Tarian Molulo, upacara adat Kalo Sara, hingga lembaga adat Tolaki bukan hanya peninggalan masa lalu, melainkan sarana membangun identitas kolektif dan solidaritas sosial. Namun, aktualisasi budaya ini tidak bisa berjalan sendiri tanpa dukungan politik anggaran yang jelas dari pemerintah provinsi.
Dalam alokasi APBD 2025, terlihat adanya pos dana untuk sektor kebudayaan melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Akan tetapi, rincian yang muncul masih bersifat umum. Molulo misalnya, yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional, atau agenda besar Lembaga Adat Tolaki (LAT), belum terlihat menempati ruang prioritas anggaran. Ditambah lagi, instruksi efisiensi belanja pemerintah tahun 2025 membuat pos kegiatan budaya berpotensi semakin terpinggirkan.
Padahal, budaya Tolaki bukan sekadar simbol lokal, melainkan potensi strategis. Molulo misalnya, dapat diaktualisasikan dalam festival pariwisata, pendidikan karakter di sekolah, hingga diplomasi budaya di tingkat nasional. Lembaga adat Tolaki, dengan konsep musyawarah dan nilai “Inae Kona Sara” (hidup berdasarkan norma adat), bisa menjadi inspirasi tata kelola pemerintahan daerah yang lebih partisipatif.
Politik anggaran Pemprov Sultra harus berani menjadikan budaya Tolaki sebagai salah satu prioritas pembangunan non-fisik. Alokasi anggaran untuk pelatihan generasi muda, dokumentasi digital, hingga integrasi budaya dalam kurikulum sekolah merupakan langkah konkret aktualisasi budaya agar generasi penerus tidak kehilangan jati dirinya. Dengan begitu, warisan tidak hanya dirayakan dalam seremoni, tetapi juga hidup dalam keseharian masyarakat.
Pilihan ini sekaligus menguji arah pembangunan Sultra di bawah kepemimpinan ASR-Hugua. Apakah pemerintah hanya ingin dikenal lewat proyek infrastruktur, atau juga dikenang sebagai pemimpin yang menghidupkan kembali roh kebudayaan daerah.
Budaya Tolaki, dengan kekayaan nilai dan tradisinya, bisa menjadi pilar yang memperkuat Sultra di tengah arus globalisasi, asal politik anggarannya berpihak pada aktualisasi, bukan sekadar formalitas. Sebab politik anggaran tidak boleh hanya berpihak jelang pemilu dan pilkada, melainkan menjadi komitmen jangka panjang untuk masa depan budaya Sultra. (*)












