Oleh : Akril Abdillah – Visioner Indonesia
Transisi energi bukan lagi sekadar jargon politik atau poster konferensi internasional. Ia adalah kenyataan yang akan menentukan apakah Indonesia hanya jadi pasar bagi teknologi asing, atau justru menjadi pelaku utama dalam revolusi energi hijau. Kita tahu, cadangan energi fosil semakin menipis, sementara kebutuhan energi nasional terus meningkat. Di sini, teknologi hijau bukan sekadar pilihan, melainkan jalan satu-satunya. Pertanyaan pentingnya: apakah negara sudah menyiapkan ekosistem inovasi yang cukup kokoh untuk menopang transisi ini?
Kita tidak boleh menutup mata. Energi baru dan terbarukan (EBT) sering dipandang sebagai proyek mahal. Panel surya, baterai, turbin angin, hingga teknologi penyimpanan energi semuanya berbasis riset panjang dan investasi tinggi. Jika negara hanya mengandalkan impor, maka kita hanya akan menjadi penonton dalam pasar yang sedang tumbuh pesat. Di sinilah peran riset dan inovasi domestik menjadi kunci. Perguruan tinggi, lembaga riset, dan industri nasional harus didorong untuk mengembangkan teknologi sendiri mulai dari panel surya buatan lokal, bioenergi berbasis potensi desa, hingga baterai kendaraan listrik yang bisa diproduksi massal di dalam negeri.
APBN sebenarnya punya ruang besar untuk itu. Selama ini kita terbiasa mendengar belanja negara dialokasikan untuk subsidi energi fosil. Mengapa tidak mengalihkan sebagian untuk insentif litbang energi hijau? Seperti menanam pohon, hasilnya mungkin tidak instan, tapi akan tumbuh kokoh untuk generasi berikutnya. Negara harus hadir sebagai “tulang punggung”, bukan sekadar regulator. Ia perlu memberi arah, dukungan, dan jaminan keberlanjutan agar industri berani berinvestasi dalam teknologi hijau.
Optimisme kita bertambah ketika BUMN energi seperti Pertamina mulai masuk lebih dalam ke ranah inovasi energi hijau. Pertamina Geothermal Energy, misalnya, menggarap panas bumi dengan pendekatan teknologi yang makin canggih. Pertamina juga mulai masuk ke rantai pasok panel surya dan hidrogen hijau. Peran ini penting, sebab BUMN bisa menjadi jangkar: memberi contoh bahwa investasi teknologi hijau tidak sekadar mimpi, tapi peluang nyata. Jika Pertamina berani menaruh modal di depan, investor lain baik swasta maupun global akan lebih percaya diri untuk ikut terjun.
Namun, membangun ekosistem teknologi hijau bukan hanya soal perusahaan besar. Perguruan tinggi harus jadi “pabrik ide” yang melahirkan riset aplikatif. Bayangkan jika setiap kampus besar di Indonesia punya laboratorium energi hijau yang terkoneksi dengan industri, maka teknologi yang lahir bisa langsung diuji dan dipasarkan. Lebih jauh lagi, pemerintah bisa memberikan insentif pajak atau kemudahan paten agar hasil riset tidak berhenti di rak perpustakaan.
Pada titik ini, kita juga perlu jujur: transisi energi tanpa inovasi hanya akan jadi impor teknologi besar-besaran. Jika itu terjadi, kita hanya menggeser ketergantungan: dari impor BBM ke impor baterai atau turbin. Inilah kenapa keberanian negara dalam membiayai riset, memberikan insentif, dan melibatkan generasi muda sangat penting. Kita butuh insinyur, peneliti, dan wirausaha muda yang percaya diri mengembangkan teknologi hijau karya anak bangsa.
Momentum ini juga bisa dilihat sebagai bentuk kemerdekaan baru. Setelah 80 tahun merdeka, kita bukan hanya ditantang menjaga kedaulatan politik, tapi juga kedaulatan energi. Jika dulu kemerdekaan diraih dengan bambu runcing, kini kedaulatan itu bisa diperkuat dengan inovasi teknologi hijau. Negara harus hadir agar energi bersih tidak hanya jadi slogan, tapi kenyataan yang memberi listrik murah, udara bersih, dan peluang ekonomi baru bagi seluruh rakyat.
Transisi energi adalah tugas sejarah. Dan sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani berinovasi. Indonesia punya modal besar: sumber daya alam melimpah, generasi muda kreatif, dan lembaga riset yang terus tumbuh. Pertanyaannya hanya satu: apakah negara siap menjahit semua potensi ini menjadi ekosistem teknologi hijau yang kokoh? Jika jawabannya ya, maka masa depan energi Indonesia bukan hanya bersih, tapi juga berdaulat. (*)