PILARSULTRA.COM, EDITORIAL — Ketika kerusuhan melanda Nepal baru-baru ini, banyak pihak terkejut melihat betapa cepat situasi kembali terkendali. Dalam hitungan hari, jalan-jalan kembali ramai, toko-toko buka seperti biasa, dan kehidupan sosial ekonomi berjalan normal. Kunci dari pemulihan cepat ini ternyata terletak pada satu hal yang sering diabaikan oleh banyak negara: netralitas militer.
Pasukan Tentara Nepal, yang sebagian besar berasal dari satuan legendaris Gurkha, telah lama dikenal sebagai pasukan tempur tangguh yang berdisiplin tinggi dan tidak berpolitik. Dalam setiap krisis domestik, mereka tampil bukan sebagai alat kekuasaan, melainkan sebagai penjaga stabilitas dan keamanan bangsa. Ketika jam malam diberlakukan, rakyat patuh — bukan karena takut pada kekuasaan politik di balik seragam, tapi karena mereka percaya bahwa tentara hanya menjalankan tugasnya demi keselamatan negara, bukan demi kepentingan penguasa.
Inilah pelajaran penting yang seharusnya dipahami oleh negara-negara lain, termasuk Indonesia. Militer bukan alat politik, bukan mesin untuk menjaga kekuasaan siapa pun, melainkan garda pertahanan negara yang netral, profesional, dan loyal hanya pada konstitusi. Saat militer memasuki ranah politik, ia kehilangan martabatnya sebagai penegak kehormatan bangsa. Kepercayaan publik perlahan runtuh, dan setiap intervensinya ke ranah sipil akan selalu dicurigai sebagai langkah politik, bukan langkah pengamanan.
Sebaliknya, ketika militer menjaga jarak dari politik, rakyat akan menaruh hormat. Keputusan mereka akan dipandang sebagai keputusan profesional, bukan kepentingan kelompok. Netralitas itulah yang membuat perintah mereka ditaati, dan keberadaan mereka di tengah rakyat diterima tanpa rasa curiga.
Negara yang ingin militernya dihormati, harus berani menegakkan prinsip netralitas itu. Hanya dengan cara demikian, militer bisa menjadi tembok terakhir bangsa — yang tetap berdiri tegak meski politik berganti-ganti, dan tetap dipercaya meski negara sedang goyah. (red)