PILARSULTRA.COM — Sulawesi Tenggara (Sultra) dikenal sebagai lumbung energi mineral dengan nikel, aspal, emas, dan mangan. Namun, di balik kilau tambang, daerah ini juga menyimpan potensi besar Energi Baru Terbarukan (EBT) yang nilainya ditaksir triliunan rupiah. Sayangnya, hingga kini potensi itu belum banyak digarap serius.
Data yang berhasil Tim Redaksi himpun Per 31 Januari 2025 mencatat, kapasitas terpasang pembangkit EBT di Bumi Anoa baru mencapai 28,49 MW. Jumlah itu berasal dari berbagai jenis pembangkit, mulai dari PLTS terpusat, tersebar, hingga rooftop, LTSHE, PJU tenaga surya, PLTMH, biomassa, dan PLTM.
Realisasi Masih Mini
Bila dirinci, kontribusi terbesar datang dari pembangkit biomassa sebesar 16,2 MW, disusul PLTM (5,4 MW) dan PLTS terpusat (4,3 MW). Selebihnya, kapasitas hanya hitungan ratusan kilowatt. Totalnya, hanya setara 28 MW, angka yang amat kecil bila dibandingkan kebutuhan listrik Sultra yang kini sudah tembus lebih dari 2.500 MW.
Artinya, meski ribuan unit pembangkit kecil dibangun, kontribusinya terhadap bauran energi masih terbilang simbolis.
Kontras dengan Target
Kondisi ini berbanding terbalik dengan target ambisius yang tercantum dalam dokumen Rencana Bauran Energi Sultra. Pada 2025, EBT ditargetkan bisa mencapai 23% dari bauran energi. Angka itu dirancang terus naik menjadi 31% pada 2030, dan bahkan 69% pada 2050 sebagai bagian dari skenario net zero emission.
Namun kenyataan di lapangan jelas berbeda: realisasi pembangkit EBT masih <1% dari total kebutuhan. Jurang antara dokumen dan kenyataan inilah yang menimbulkan pertanyaan: mengapa EBT di Sultra jalan di tempat?
Potensi Besar, Implementasi Tertahan?
Padahal, jika melihat potensi, Sultra memiliki segalanya:
- Tenaga surya melimpah di sepanjang tahun.
- Tenaga air dan mikrohidro dari sungai-sungai dan aliran di pegunungan.
- Biomassa dari sektor pertanian, perkebunan, hingga limbah organik.
- Energi laut dari potensi gelombang dan angin pesisir.
Semua ini bila dikelola dapat menjadi energi bersih yang menopang pembangunan berkelanjutan.
Tantangan di Depan
Ada beberapa tantangan yang menyebabkan EBT Sultra belum optimal:
- Keterbatasan investasi: investor lebih tertarik pada sektor tambang yang cepat memberi keuntungan.
- Regulasi dan insentif: kebijakan pusat maupun daerah dinilai belum cukup berpihak.
- Kapasitas teknologi dan SDM: masih terbatas, terutama untuk pemanfaatan energi skala besar.
- Komitmen politik: fokus pembangunan daerah lebih condong ke hilirisasi tambang daripada energi bersih.
Momentum Baru?
Pemerintah pusat menargetkan bauran energi nasional berbasis EBT bisa mencapai 23% pada 2025. Sultra, dengan segala potensinya, seharusnya menjadi motor utama pencapaian itu. Namun, fakta bahwa realisasi baru 28 MW menjadi alarm keras agar roadmap tak sekadar berhenti di atas kertas.
EBT di Sultra bukan hanya soal menambah pasokan listrik, tetapi juga soal keberlanjutan, lingkungan, dan masa depan. Pertanyaannya kini: apakah Sultra akan berani keluar dari bayang-bayang nikel dan tambang, untuk sungguh-sungguh menyalakan energi bersihnya? (mer)