PILARSULTRA.COM – Perdebatan soal siapa yang lebih dipercaya publik antara media massa dan influencer kembali mencuat setelah pengakuan Jerome Polin yang mengaku pernah ditawari untuk menjadi buzzer dalam meredam aksi protes masyarakat terhadap DPR.
Unggahan Jerome di Instagram sontak memicu polemik. Banyak yang menilai pemerintah lebih sering mengandalkan influencer ketimbang media massa dalam mengelola komunikasi publik. Pertanyaannya, apakah langkah itu tepat?
Media Lebih Kredibel
Sejumlah pakar komunikasi mengingatkan agar pemerintah berhati-hati. Jerry Massie, Direktur P3S, menilai strategi komunikasi publik Presiden Prabowo jangan sampai mengulang pola lama di era Jokowi yang terlalu mengandalkan buzzer.
“Komunikasi publik yang kredibel seharusnya dilakukan langsung oleh pejabat negara atau lewat media, karena media memiliki mekanisme verifikasi,” tegas Jerry.
Data survei IPS UGM tahun 2022 juga memperlihatkan hal yang sama: 74,4 persen publik masih percaya pada media formal seperti televisi, radio, dan surat kabar. Sementara media sosial—tempat influencer beraksi—hanya dipercaya 12,7 persen masyarakat.
Influencer Rentan Blunder
Kasus blunder influencer di Indonesia pun bukan sekali dua kali terjadi. Kampanye Omnibus Law dengan tagar #IndonesiaButuhKerja justru berakhir dengan permintaan maaf dari sejumlah influencer karena mengaku tak paham isi kebijakan.
Begitu pula konser BPIP di masa pandemi yang menuai kritik karena dinilai tak peka pada kondisi krisis. Dua contoh itu cukup menunjukkan bahwa influencer tidak selalu siap menjadi corong komunikasi publik.
Pejabat Publik Harus Tampil
Menurut Nyarwi Ahmad, pengamat politik dari UGM, seharusnya pejabat publik sendiri yang menjadi komunikator utama. “Kalau politisi bergantung pada influencer, ini tidak menunjukkan kemajuan demokrasi,” ujarnya.
Senada dengan itu, Samsul Arifin, Ketua AMKI Jawa Tengah, menegaskan bahwa media adalah rumah besar rakyat. “Kalau Presiden ingin menenangkan masyarakat, jangan hanya mengandalkan influencer, tapi perbanyak komunikasi lewat media,” katanya.
Menjaga Ruang Demokrasi
Lebih dari sekadar soal kepercayaan, media berperan penting dalam menjaga ruang demokrasi. Dengan standar jurnalistik dan prinsip verifikasi, media mampu menghadirkan informasi berimbang.
Sebaliknya, jika pemerintah terlalu bergantung pada influencer, narasi publik rawan dikendalikan dan kritik bisa tergerus. Hal ini justru berbahaya bagi demokrasi yang sehat.
Saatnya Kembali ke Media
Kasus Jerome Polin bisa menjadi alarm. Presiden Prabowo perlu lebih sering tampil di media, menyampaikan langsung kebijakan, dan merangkul jurnalis. Hanya dengan begitu, legitimasi kepemimpinan nasional bisa semakin kuat.
Pada akhirnya, influencer mungkin mampu membuat viral, tetapi media lah yang menjaga kepercayaan dan demokrasi.