PILARSULTRA.COM, Global — Nepal diguncang gelombang demonstrasi besar pada Senin (8/9/2025) hingga Selasa (9/9/2025) yang menewaskan sedikitnya 19 orang. Aksi massa yang meluas hingga membakar rumah pejabat dan menyerbu gedung parlemen itu berujung pada mundurnya Perdana Menteri Nepal KP Sharma Oli.
Protes rakyat dipicu oleh praktik korupsi yang merajalela dan ketimpangan sosial yang makin melebar antara pejabat dengan rakyat biasa. Kekecewaan publik semakin memuncak karena perilaku anak-anak pejabat yang kerap memamerkan kemewahan di media sosial, saat rakyat tengah menghadapi kesulitan ekonomi.
Fenomena ini kemudian memunculkan istilah “nepo kids”, sebutan bagi anak pejabat di Nepal yang hobi pamer mobil mewah, pakaian bermerek, hingga gaya hidup hedon di platform TikTok dan Instagram.
Salah satu contohnya adalah Sayuj Parajuli, putra mantan Ketua Mahkamah Agung Gopal Parajuli, yang tampil dengan mobil mewah dan santapan mahal. Ada juga Saugat Thapa, putra Menteri Hukum Bindu Kumar Thapa, yang gaya hidupnya tak kalah glamor.
Fenomena ini menimbulkan kemarahan publik. “Amarah terhadap ‘nepo kids’ di Nepal mencerminkan frustrasi mendalam masyarakat terhadap korupsi dan ketimpangan,” kata Yog Raj Lamichhane, akademisi dari Pokhara University.
Nepal memang menyimpan jurang ketimpangan. Data Bank Dunia mencatat pendapatan per kapita tahunan warga hanya sekitar Rp 23 juta, atau rata-rata Rp 1,9 juta per bulan. Lebih dari 20 persen warganya hidup dalam kemiskinan, sementara sebagian elite menikmati kekayaan berlimpah.
Kondisi ini menegaskan adanya praktik elite capture, di mana kekayaan, lahan, hingga peluang usaha terkonsentrasi pada keluarga elite politik.
Kejadian di Nepal menjadi cermin peringatan bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Fenomena pamer kemewahan oleh sebagian anak pejabat di media sosial belakangan ini sering memicu kritik publik.
Ketika jurang ketimpangan semakin terasa, perilaku flexing dari kalangan elite justru bisa menjadi bahan bakar kemarahan rakyat. Sejarah Nepal menunjukkan, kesenjangan dan arogansi sosial bisa menjadi pemicu krisis politik yang berujung pada lengsernya penguasa. (ps)