PILARSULTRA.COM, Kendari — Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam Mineral dan Batubara untuk Provinsi Sulawesi Tenggara triwulan I 2025 menyimpan sinyal serius bagi keuangan daerah. Hasil rekonsiliasi yang digelar secara daring (23/4) lalu oleh Kementerian ESDM bersama Pemprov Sultra dan Bapenda menunjukkan tren penurunan tajam dibanding tahun sebelumnya.
Dari laporan yang dibacakan dalam Berita Acara Rekonsiliasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam Mineral dan Batubara untuk Provinsi Sulawesi Tenggara triwulan I 2025, realisasi PNBP yang berhasil direkonsiliasi periode 1 Januari hingga 31 Maret 2025 hanya mencapai Rp1,125 triliun. Angka ini jauh merosot dibanding realisasi 2024 yang mencapai Rp4,221 triliun, atau baru sekitar 26,66 persen.
Jika dirinci, penerimaan Iuran Tetap hanya Rp22,49 miliar, turun hampir setengah dari capaian 2024 sebesar Rp46,04 miliar. Sementara itu, penerimaan royalti yang biasanya menjadi penopang utama juga merosot ke Rp1,102 triliun dari sebelumnya Rp4,175 triliun.
10 Daerah Penyumbang Terbesar
Data tahun 2024 menunjukkan bahwa kontribusi PNBP Minerba Sultra sangat timpang, terkonsentrasi pada beberapa daerah saja. Berikut 10 kabupaten/kota penyumbang terbesar:
- Konawe Utara – Rp1,446 triliun
- Bombana – Rp613,5 miliar
- Kolaka – Rp446,3 miliar
- Konawe Selatan – Rp371,6 miliar
- Kolaka Utara – Rp343,3 miliar
- Konawe – Rp396,4 miliar
- Buton Tengah – Rp51,8 miliar
- Kolaka Timur – Rp47,4 miliar
- Buton – Rp4,09 miliar
- Buton Selatan – Rp222,7 juta
Dengan peta ini, jelas bahwa Konawe Utara, Bombana, dan Kolaka mendominasi lebih dari 80 persen PNBP Sultra. Konawe Utara sendiri menjadi raja dengan torehan Rp1,446 triliun, jauh melampaui daerah lain. Kondisi ini sekaligus menandakan kerentanan fiskal, sebab fluktuasi kinerja perusahaan tambang di tiga daerah itu langsung berimbas pada penerimaan Sultra secara keseluruhan.
Imbas ke Dana Bagi Hasil (DBH)
Sesuai amanat UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, pagu DBH SDA ditentukan berdasarkan realisasi penerimaan tahun sebelumnya.
Dengan kondisi itu, daerah penghasil seperti Kolaka, Kolaka Timur, Konawe, dan Bombana harus bersiap menerima penyaluran DBH yang lebih kecil. Alasannya sederhana: karena realisasi PNBP 2024 di daerah-daerah tersebut mengalami penurunan, maka otomatis hitungan DBH 2025 juga ikut turun.
Dampak langsungnya, APBD mereka berisiko mengalami penyempitan ruang fiskal. Program pembangunan yang biasanya dibiayai dari DBH, mulai dari infrastruktur dasar, pendidikan, hingga kesehatan, bisa terdampak jika pemerintah daerah tidak mencari sumber pendanaan alternatif.
Tidak Ada Koreksi, Tapi Angka Tetap Mengkhawatirkan
Menariknya, rekonsiliasi kali ini tidak menemukan adanya koreksi satker, akun, maupun daerah penghasil. Artinya, penurunan murni terjadi karena turunnya aktivitas produksi dan setoran wajib bayar, bukan faktor administrasi.
“Peserta rekonsiliasi bertanggung jawab atas kebenaran data dan informasi dalam berita acara ini,” bunyi dokumen resmi yang ditandatangani perwakilan Ditjen Minerba, Biro Keuangan KESDM, serta pejabat Dinas ESDM dan Bapenda Sultra.
Tantangan dan Rekomendasi Solusi
Dengan tren ini, pemerintah daerah harus memutar strategi. Ketergantungan pada DBH SDA jelas berisiko tinggi. Apalagi, harga komoditas tambang global yang fluktuatif dapat langsung mengguncang kas daerah.
Ada beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan:
- Mendorong hilirisasi tambang. Semakin banyak produk tambang yang diproses di dalam negeri, semakin besar multiplier effect ke daerah, baik dari pajak, tenaga kerja, maupun nilai tambah.
- Diversifikasi sumber pendapatan. Pemda bisa mengoptimalkan pajak daerah dan retribusi, khususnya dari sektor pariwisata, perkebunan, dan jasa.
- Efisiensi belanja daerah yang tepat. Dengan ruang fiskal yang menurun, belanja harus diprioritaskan pada program yang langsung berdampak pada masyarakat.
- Memperkuat pengawasan produksi tambang. Agar tidak ada kebocoran penerimaan negara akibat pelaporan produksi yang tidak sesuai.
- Membangun skema dana cadangan. DBH yang diterima di tahun surplus sebaiknya sebagian ditabung untuk mengantisipasi tahun defisit seperti 2025.
Bagi Sultra yang kaya nikel, batu bara, dan mineral lain, penurunan penerimaan negara berarti juga alarm bagi keberlanjutan pembangunan di tingkat lokal. Tanpa strategi diversifikasi dan efisiensi yang tepat, daerah penghasil bisa menghadapi tekanan fiskal yang berat di sisa tahun berjalan. (bar)