PILARSULTRA.COM, EDITORIAL — Penangkapan seorang anggota organik Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI di tengah demonstrasi beberapa waktu lalu sebagaimna dilansir Tempo (5/9), menimbulkan pertanyaan serius. Bagi jurnalis lapangan, pemandangan ini cukup janggal. Lazimnya, intelijen organik tidak pernah membaur secara langsung dengan massa aksi. Mereka lebih banyak mengandalkan jejaring non-organik—jaringan sipil yang terputus, berlapis, dan sulit ditelusuri.
Maka, ketika seorang anggota BAIS justru turun langsung dan bahkan kedapatan membawa kartu tanda anggota, publik wajar bertanya: apa yang sebenarnya terjadi?
Ada beberapa kemungkinan yang patut dipertimbangkan. Pertama, keterbatasan sumber daya. Bisa jadi lembaga intelijen tidak maksimal membangun jejaring sipil yang efektif, sehingga aparat organik harus terjun langsung ke lapangan. Kedua, faktor urgensi. Barangkali ada situasi mendesak yang menuntut intelijen hadir seketika untuk memantau dinamika aksi.
Namun, bila benar demikian, maka hal itu mencerminkan adanya celah dalam prosedur profesional. Intel yang menyaru di lapangan seharusnya tidak pernah membawa identitas resmi, apalagi kartu tanda anggota yang justru membuka kedok. Ini menimbulkan kesan amatir—hal yang semestinya jauh dari dunia intelijen profesional.
Ketiga, ada pula kemungkinan bahwa peristiwa ini memang sengaja “dibuka” agar publik tahu bahwa negara hadir mengawasi. Semacam pesan terselubung: hati-hati, demonstrasi ini tidak luput dari radar aparat. Jika benar demikian, maka strategi ini lebih mirip blunder komunikasi publik, karena justru menurunkan wibawa lembaga.
Dalam konteks demokrasi, kehadiran intelijen tentu tidak bisa dihindari. Mereka adalah mata dan telinga negara. Namun, profesionalisme dan standar operasi menjadi kunci agar kerja intelijen tidak menjadi bahan olok-olok publik. Sebab begitu kehadiran mereka terendus dengan cara yang keliru, maka justru kepercayaan masyarakat yang dipertaruhkan.
Pertanyaan akhirnya: apakah kasus ini sekadar kesalahan prosedur individu, keterbatasan sistem, atau justru strategi komunikasi negara? Jawabannya hanya bisa ditentukan oleh transparansi dan konsistensi pemerintah dalam menjelaskan duduk perkara.
Bagi publik, yang jelas adalah satu hal: intelijen yang tertangkap dengan identitas resmi di tengah massa aksi adalah ironi. Sebuah paradoks di negeri yang semestinya menempatkan intelijen sebagai kekuatan senyap, bukan tontonan.
Pada akhirnya, intelijen adalah kekuatan senyap yang semestinya menjadi garda terdepan dalam menjaga stabilitas negara. Ia bekerja dalam bayang-bayang, dengan disiplin dan kerahasiaan yang tak boleh bocor. Kasus tertangkapnya personel BAIS di lapangan justru menjadi cermin bahwa profesionalisme intelijen perlu terus dibenahi. Publik berharap, intelijen Indonesia benar-benar tampil sebagai kekuatan negara yang efektif, cerdas, dan berlapis, bukan sekadar menjadi tontonan dalam hiruk-pikuk demonstrasi. (red)