PILARSULTRA.COM, EDITORIAL — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu terobosan penting pemerintah dalam meningkatkan kualitas gizi masyarakat secara nasional, termasuk peserta didik di Sulawesi Tenggara. Program ini lahir dari niat mulia: menekan angka gizi buruk, memperbaiki kesehatan generasi muda, serta memastikan tidak ada anak sekolah yang belajar dalam kondisi lapar.
Namun, insiden keracunan makanan yang muncul belakangan ini menjadi alarm keras. Program yang seharusnya membawa manfaat justru diwarnai peristiwa yang berpotensi mengancam keselamatan penerima manfaat. Di sinilah persoalan serius hadir; antara cita-cita mulia dan realitas pelaksanaan yang masih diwarnai lemahnya regulasi pengawasan.
Surat Edaran Gubernur Sultra Andi Sumangerukka yang baru saja diterbitkan patut diapresiasi. Instruksi itu menegaskan langkah-langkah pencegahan mulai dari pengawasan rantai produksi pangan, koordinasi lintas instansi, penanganan cepat insiden, hingga edukasi kepada sekolah dan penyedia makanan. Namun, muncul pertanyaan mendasar: mengapa kebijakan teknis semacam ini baru ditegaskan setelah terjadi insiden? Dan, mengapa Badan Gizi Nasional (BGN) tidak mengantisipasi soal semacam ini sejak awal, mengingat ini adalah program makanan?
Kita perlu jujur mengakui bahwa kelemahan ada pada aspek pengelolaan dan regulasi pengawasan. Mulai dari kualitas bahan baku, higienitas proses pengolahan, distribusi, hingga penyajian, semua memiliki celah yang bisa berakibat fatal bila diabaikan. Program MBG tidak boleh dipandang sekadar proyek politik yang cukup dijalankan sebatas “memberi makan gratis”. Ia adalah urusan keselamatan manusia, yang membutuhkan standar kesehatan ketat dan sistem pengawasan berlapis serta regulasi yang kuat.
Editorial ini menekankan bahwa program sebesar MBG harus dijalankan dengan prinsip good governance: transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Transparansi agar publik mengetahui sumber dan kualitas pangan; akuntabilitas agar setiap pihak yang lalai dapat dimintai pertanggungjawaban; serta partisipasi agar sekolah, komite, dan orang tua ikut mengawasi jalannya program.
Insiden keracunan seharusnya menjadi pelajaran penting. Evaluasi menyeluruh mutlak dilakukan, bukan sekadar mencari kambing hitam, tetapi memperbaiki sistem agar kejadian serupa tidak terulang. Program mulia ini akan kehilangan makna bila pelaksanaannya hanya menambah daftar masalah baru di masyarakat.
Pilar Sultra berpandangan: Program MBG tetap harus berjalan, tetapi dengan regulasi pengawasan yang lebih tegas, pengelolaan profesional, serta keterlibatan semua pihak. Anak-anak kita berhak mendapatkan gizi terbaik, bukan risiko yang mengancam kesehatan mereka. (red)













