“Sejak Pak Prabowo dilantik, kontradiksi sudah terlihat. Beliau menggaungkan efisiensi, tetapi kabinetnya justru menjadi yang paling gemuk sepanjang sejarah,” ujar Sigit.
PILARSULTRA.COM – Terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden sempat membawa gelombang harapan baru bagi masyarakat Indonesia. Banyak yang percaya kepemimpinannya mampu menghadirkan perubahan, mengingat pengalaman panjangnya di dunia politik dan pemerintahan.
Namun, harapan tersebut perlahan memudar. Sejumlah kebijakan di awal masa jabatannya justru memicu kontradiksi dan keresahan di berbagai lapisan masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh Prof. Sigit Rochadi, dosen pascasarjana Universitas Nasional (Unas) Jakarta, dalam siniar di kanal YouTube Hersubeno Point yang dikutip, Jumat (5/9/2025).
Menurutnya, kontradiksi terlihat sejak awal, mulai dari kebijakan efisiensi yang berbanding terbalik dengan jumlah kabinet yang mencapai 108 menteri—terbesar sepanjang sejarah.
Di sisi lain, masyarakat juga dihadapkan pada kenaikan pajak, kelangkaan gas LPG 3 kg, tuntutan tunjangan hari raya (THR) bagi pengemudi ojek online (ojol), hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor industri.
“Sejak Pak Prabowo dilantik, kontradiksi sudah terlihat. Beliau menggaungkan efisiensi, tetapi kabinetnya justru menjadi yang paling gemuk sepanjang sejarah,” ujar Sigit.
Keresahan semakin terasa ketika kebijakan juga menyasar masyarakat pedesaan, seperti kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), rencana penyitaan tanah yang tidak digarap selama dua tahun, hingga program koperasi yang dinilai tidak merata.
Dalam perspektif teori gerakan sosial, kondisi ini memenuhi prasyarat lahirnya protes terbuka. Hanya saja, menurut Sigit, hingga kini belum ada figur kepemimpinan di lapangan yang mampu menyatukan mahasiswa, buruh, dan ojol dalam satu barisan perjuangan—berbeda dengan era 1998 yang memiliki tokoh seperti Amin Rais, Megawati, Gus Dur, hingga Sri Sultan.
“Mahasiswa jalan sendiri, buruh jalan sendiri, ojol jalan sendiri. Tidak ada figur pemimpin yang menyatukan mereka seperti era 1998,” jelasnya.
Sigit menilai, bila kepemimpinan yang kuat muncul dan mampu mengonsolidasikan kekuatan kelas menengah serta buruh, potensi gejolak besar sangat mungkin terjadi.
Untuk itu, ia mendorong pemerintah agar lebih peka mendengarkan keluhan masyarakat dan menyelesaikan akar masalah yang memicu keresahan publik.
“Solusinya hanya satu, membersihkan akar persoalan klasik bangsa: korupsi, kolusi, dan nepotisme di tubuh partai politik dan birokrasi. Tanpa itu, kita hanya mengulang episode kemarahan rakyat yang tak kunjung usai,” pungkasnya. (red)