PILARSULTRA.COM, EDITORIAL — Instruksi Presiden Joko Widodo pada 2022 lalu begitu jelas: hentikan impor aspal paling lambat 2024. Alasan di balik instruksi ini sederhana namun sangat kuat: Indonesia punya cadangan aspal alam di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, yang disebut-sebut terbesar di dunia—lebih dari 662 juta ton, cukup untuk kebutuhan nasional selama puluhan tahun.
Namun kini, di 2025, kenyataan pahit harus kita telan. Aspal Buton masih merana di negeri sendiri. Proyek infrastruktur masih bergantung pada aspal impor, sementara potensi lokal yang melimpah tak kunjung diberdayakan optimal.
Beberapa faktor yang mungkin jadi penyebab:
- Industri pengolahan belum siap. Sebagian besar cadangan aspal Buton masih dalam bentuk mentah, belum diolah modern sehingga kalah bersaing dengan produk impor yang praktis digunakan.
- Logistik mahal. Biaya angkut dari Buton membuat harga tidak kompetitif, membuat kontraktor lebih memilih aspal impor.
- Instruksi tanpa pengikat. Perintah presiden tidak diikuti aturan teknis wajib, sehingga mudah diabaikan.
- Kurang dukungan riset. Padahal, teknologi bisa meningkatkan kualitas aspal Buton agar setara bahkan lebih unggul dari aspal impor.
Ironinya, Buton justru jadi “anak tiri” di negeri sendiri. Warga melihat gunung aspal setiap hari, namun jalanan di kampung mereka masih penuh lubang.
Editorial ini bukan sekadar kritik, tapi seruan: pemerintah pusat dan daerah harus kembali menepati janji kemandirian infrastruktur. Bila aspal Buton digarap serius, dampaknya berlapis: membuka lapangan kerja, mengurangi impor, memperkuat ketahanan nasional, dan menjadikan Sulawesi Tenggara sebagai episentrum pembangunan jalan Indonesia.
Kini pertanyaannya: apakah janji stop impor aspal 2024 tinggal kenangan? Ataukah bangsa ini berani bertindak nyata, menjadikan Buton pusat kejayaan aspal dunia? (red)












