PILARSULTRA.COM — Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengungkapkan banyak sekolah di Indonesia tidak mampu memanfaatkan dana pendidikan secara tepat sasaran. Alih-alih membantu siswa tidak mampu, sebagian sekolah justru menghabiskan anggaran untuk renovasi yang tidak mendesak.
“Pakai beli kursi padahal kursinya masih bagus, cat sekolah, ganti pagar padahal tidak perlu, karena tidak tahu bagaimana menghabiskan dana pendidikan,” ujar Sri Mulyani dalam Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia 2025, Jumat (8/8/2025), dikutip dari YouTube Institut Teknologi Bandung
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah sejak 2009 membentuk Dana Abadi Pendidikan agar 20 persen anggaran pendidikan dari APBN tidak terbuang sia-sia. Dana tersebut dimulai pada 2010 dengan Rp1 triliun dan kini telah berkembang menjadi Rp154,1 triliun.
Menurut Sri Mulyani, selain mencegah pemborosan, dana abadi ini juga dimaksudkan untuk mempersiapkan generasi muda bersaing di tingkat global melalui pendidikan di kampus-kampus terbaik dunia.
“Saya yakin anak-anak Indonesia mampu masuk universitas top dunia, namun selama ini tidak ada biaya. LPDP hadir untuk menutup celah itu,” ujarnya.
Hingga kini, pengelolaan dana oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) telah membiayai 3.363 penerima manfaat yang berkuliah di tujuh universitas terbaik dunia, serta membantu 670 ribu penerima manfaat dalam berbagai program beasiswa dan penelitian.
Pernyataan Menkeu Sri Mulyani tersebut kembali menyoroti persoalan klasik di dunia pendidikan Indonesia: ketidaktepatan alokasi anggaran di tingkat satuan pendidikan.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa regulasi 20 persen APBN untuk pendidikan tidak otomatis menjamin peningkatan kualitas belajar siswa jika tidak diiringi dengan manajemen keuangan yang cerdas dan berbasis kebutuhan.
Dana abadi pendidikan yang telah menembus Rp154,1 triliun memang menjadi instrumen strategis untuk membiayai beasiswa dan riset. Namun, tantangan sebenarnya ada pada peningkatan literasi pengelolaan anggaran di sekolah dan pengawasan penggunaan dana agar benar-benar berdampak pada akses dan mutu pendidikan.
Jika pola belanja “asal habis” tetap dibiarkan, maka bahkan dana abadi sebesar apa pun hanya akan menjadi kebanggaan angka, bukan solusi konkret bagi pemerataan pendidikan di seluruh pelosok negeri. (tin)