PILARSULTRA.COM, EDITORIAL — APBN 2026 memperlihatkan wajah baru politik anggaran Indonesia: semakin tersentralisasi, semakin jauh dari semangat otonomi daerah.
Presiden Prabowo Subianto memilih menggelembungkan belanja pemerintah pusat hampir 18%, sementara transfer ke daerah (TKD) justru dipangkas hampir seperempat dari tahun sebelumnya.
Pertanyaannya tegas: apakah ini strategi fiskal yang sehat, atau hanya cara pemerintah pusat mengamankan ambisi politiknya?
Janji politik Prabowo mulai dari program makan bergizi gratis, ketahanan energi dan pangan, hingga pertahanan semesta’; memang membutuhkan dana raksasa. Tetapi harga dari semua itu adalah menyusutnya ruang fiskal daerah.
Daerah dengan PAD lemah akan tercekat, kewenangan pembangunan direduksi, dipaksa menunggu belas kasih kementerian di Jakarta.
Lebih ironis lagi, pos belanja modal justru dipotong tajam. Padahal, belanja modal adalah investasi masa depan: infrastruktur, produktivitas, kapasitas ekonomi. Kini porsinya turun dari 12,9% menjadi hanya 8,7%. Bagaimana mungkin negara ini bicara “transformasi besar” jika pondasi pembangunan justru dikorbankan?
Editorial ini ingin menegaskan: Indonesia terlalu luas dan beragam untuk dikelola sepenuhnya dari meja birokrasi pusat. Otonomi daerah bukanlah bonus politik, melainkan kebutuhan riil agar pelayanan publik tidak terhambat oleh sentralisme Jakarta.
Jika pola ini diteruskan, akibatnya jelas:
- Daerah kehilangan daya untuk membiayai kebutuhan dasarnya.
- Pusat kewalahan menanggung program yang terlalu banyak.
- Rakyat daerah jadi korban, pelayanan publik tersendat karena semua harus menunggu pusat.
Prabowo boleh saja ingin meninggalkan warisan program monumental. Tetapi warisan terbaik seorang presiden bukanlah sekadar janji politik yang dipenuhi, melainkan sistem fiskal yang adil dan berkelanjutan, yang memberi ruang hidup bagi pusat maupun daerah.
RAPBN 2026 seolah hendak membuktikan bahwa Jakarta tahu segalanya. Padahal, semakin pusat merasa maha tahu, semakin daerah kehilangan suara, dan semakin rakyat menanggung akibatnya. (red)