Oleh: Sabaruddin Hasan — Jurnalis

Pernyataan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, yang mempersoalkan terminologi Operasi Tangkap Tangan (OTT) setelah salah satu kadernya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memantik diskusi publik yang tak kalah panas dari kasus itu sendiri. Bahkan, Paloh disebut telah memerintahkan Fraksi NasDem di DPR untuk memanggil KPK dalam rapat dengar pendapat (RDP).
Sebagai partai politik yang mengusung jargon perubahan dan restorasi, respons seperti ini menimbulkan tanda tanya. Apakah fokus utama adalah mengoreksi istilah, atau memastikan pemberantasan korupsi berjalan tanpa pandang bulu?
OTT: Istilah Baku dan Landasan Hukum
OTT bukan sekadar jargon media. Ia memiliki landasan hukum jelas dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP, yang mengatur tindakan penangkapan terhadap seseorang pada saat melakukan tindak pidana atau segera setelahnya. KPK telah menjalankan terminologi ini selama bertahun-tahun, dengan preseden hukum yang diakui publik maupun lembaga peradilan.
Memperdebatkan istilah ini di ruang publik—apalagi di saat sorotan publik tertuju pada kasus dugaan suap—berisiko dianggap mengaburkan inti persoalan. Publik tidak sedang menuntut definisi bahasa, melainkan kepastian bahwa hukum ditegakkan.
Negarawan dan Prioritas Kepentingan Bangsa
Seorang negarawan menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok. Dalam kasus korupsi yang melibatkan kader partai, sikap ideal adalah mendorong proses hukum berjalan transparan, tanpa intervensi atau kesan membela.
Dengan mempersoalkan terminologi OTT, pesan yang sampai ke publik bisa terdistorsi: dari komitmen antikorupsi menjadi pembelaan terhadap kader sendiri. Ini bukan hanya persoalan substansi hukum, tetapi juga strategi komunikasi politik.
Risiko Politik yang Tidak Perlu
Dalam era keterbukaan informasi, setiap pernyataan publik adalah investasi citra politik. Pernyataan yang keliru momentum-nya dapat menjadi liabilitas elektoral, apalagi bagi partai yang pernah menjadi pemenang pemilu di beberapa daerah. Lawan politik tentu tidak akan melewatkan peluang untuk menggiring opini bahwa komitmen antikorupsi partai tersebut lemah.
Restorasi Dimulai dari Konsistensi
NasDem membawa misi restorasi Indonesia. Restorasi itu sendiri hanya mungkin jika ada konsistensi antara kata dan tindakan. Kritik terhadap penegak hukum adalah hak politik, namun harus disampaikan pada waktu yang tepat, dengan narasi yang tidak mengaburkan komitmen melawan korupsi.
Negarawan sejati tidak memulai perdebatan dari istilah, tetapi dari prinsip: substansi keadilan, transparansi, dan integritas. Itulah yang seharusnya menjadi pegangan, apalagi ketika sorotan publik sedang begitu tajam.
Publik memahami OTT bukanlah isu semantik belaka. Ia adalah instrumen penting dalam perang melawan korupsi. Mempertanyakan istilahnya di tengah kasus kader sendiri hanya akan mengundang tafsir negatif yang merugikan, baik bagi citra partai maupun integritas demokrasi. (red)