PILARSULTRA.COM, EDITORIAL — Pajak adalah tulang punggung negara. Setiap tahun, pemerintah menargetkan penerimaan pajak semakin tinggi. Rakyat pun terus dihimbau untuk taat, mulai dari karyawan, pengusaha, pedagang kecil, bahkan pekerja lepas di dunia digital. Sanksi ditekankan, ancaman pemeriksaan disuarakan, semua demi memastikan bahwa kas negara terisi.
Namun, di balik gencarnya upaya mengejar penerimaan pajak dari masyarakat, ada fakta yang sering luput dibicarakan: pajak penghasilan anggota DPR, menteri, dan sebagian pejabat negara ditanggung oleh negara. Artinya, meski secara administrasi mereka “membayar pajak”, sumber dana pajaknya bukan dari kantong pribadi, melainkan dari APBN yang sejatinya juga berasal dari rakyat.
Pajak Rakyat vs Pajak Pejabat
Bagi rakyat biasa, membayar pajak berarti mengurangi pendapatan yang sudah terbatas. Seorang karyawan dengan gaji pas-pasan, setiap bulan dipotong pajak langsung dari slip gajinya. Pedagang atau pelaku UMKM juga tidak bisa menghindar, karena jika lalai melapor bisa dikenai denda.
Sementara itu, pejabat negara tetap menerima gaji penuh, dengan potongan pajak yang sebenarnya “disubsidi” negara. Inilah yang menimbulkan kesan ketidakadilan: rakyat membiayai gaji mereka sekaligus membayar pajak mereka.
Argumen Pemerintah
Mengapa sistem ini dipertahankan? Salah satu alasannya adalah agar take home pay pejabat tidak berkurang drastis. Ada pula dalih historis, yakni memberikan jaminan pendapatan agar pejabat tidak tergoda korupsi. Namun, argumen ini semakin sulit diterima di tengah sorotan publik soal gaya hidup mewah, tunjangan berlapis, dan kasus korupsi yang justru marak.
Isu Keadilan Pajak
Ketidaksetaraan inilah yang perlu dibahas secara terbuka. Pajak seharusnya menjadi wujud keadilan sosial: yang berpenghasilan lebih besar, membayar lebih banyak; yang berpenghasilan kecil, mendapat perlindungan. Tetapi jika pejabat justru mendapat perlakuan istimewa, rasa keadilan publik bisa terkikis.
Kita berharap transparansi dan keberanian untuk mereformasi sistem perpajakan pejabat negara menjadi penting. Pajak yang benar-benar dibayar dari pendapatan pribadi pejabat, tanpa ditanggung negara, bukan hanya soal angka, tetapi juga soal keteladanan. Jika rakyat diminta patuh, maka pejabat seharusnya menjadi teladan pertama.
Pajak bukan sekadar kewajiban fiskal, melainkan simbol keadilan. Dan keadilan, jika timpang di atas, akan terasa menyesakkan di bawah.