PILARSULTRA.COM — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai dua ideologi ekonomi besar dunia, kapitalisme dan komunisme-sosialisme, gagal memberikan keadilan bagi masyarakat luas. Menurutnya, ekonomi syariah dapat menjadi alternatif konkret yang berlandaskan etika dan moral.
“Kapitalisme cenderung menciptakan konsentrasi modal dan kekuatan politik pada segelintir pihak. Sebaliknya, komunisme-sosialisme yang menekankan kepemilikan kolektif malah menghilangkan motivasi karena pendekatan sama rata,” kata Sri Mulyani dalam pidatonya pada Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah, Rabu (13/8/2025), mengutip Bisnis.com.
Bendahara negara itu menilai, ekonomi Islam hadir sebagai inspirasi dan jalan ketiga di tengah pergulatan ideologi global. Ia menekankan tiga pilar utama yang perlu diperkuat: perubahan nilai halal (halal value change), pengembangan keuangan syariah, serta penguatan dana sosial dan literasi inklusif.
Sri Mulyani menyebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta instrumen keuangan negara dapat menjadi kendaraan utama untuk mewujudkan tujuan tersebut. Sejumlah program dinilainya relevan dengan pendekatan syariah, seperti perlindungan sosial bagi keluarga miskin, akses pembiayaan untuk UMKM, layanan kesehatan gratis, peningkatan fasilitas kesehatan, hingga inisiatif pendidikan rakyat.
Dalam pembiayaan, ia menyoroti peran sukuk dan instrumen keuangan syariah. Porsi aset keuangan syariah nasional dinilainya cukup besar, namun penerbitan sukuk masih didominasi pemerintah. “Korporasi mungkin perlu didorong lebih banyak lagi menerbitkan sukuk, baik lokal maupun global,” ujarnya.
Mantan Kepala Bappenas itu juga menekankan pentingnya zakat, wakaf, dan mekanisme redistribusi dalam sistem ekonomi syariah. Menurutnya, prinsip bahwa “dalam setiap rezeki ada hak orang lain” dapat diwujudkan melalui instrumen formal yang terintegrasi dengan program sosial negara.
Sri Mulyani mengajak pelaku ekonomi syariah membangun rantai nilai yang menghubungkan produksi, konsumsi, dan distribusi halal, memanfaatkan potensi koperasi desa hingga program makan bergizi.
Meski optimistis, ia mengakui tantangan besar yang dihadapi. Mengubah paradigma ekonomi memerlukan strategi substansi, desain kebijakan yang matang, dan sinkronisasi antar lembaga.
“Kita akan dihadapkan pada sistem yang sudah sangat mapan. Pertanyaannya, apakah kita berkukuh pada bentuk atau menggunakan strategi berbasis substansi,” pungkasnya. (tin)